Diajeng itu saya, Mas Itu Tito







Mungkin, air mata ini bergulir tidak tepat waktu. Bukan di saat kita berhadapan untuk terakhir kali, tapi saat kesendirian yang begitu senyap, sama seperti halnya sampeyan mendapat inspirasi nggambar saat dini hari.


Ketika kain putih itu tersingkap, wajah sampeyan setengah terpejam, bibir terbuka dan kering, untuk pertama kalinya saya bisa melihat rona pucat dibalik warna kulit sampeyan yang gelap.

"Item"

Sapaan sarkas warisan sekretaris pertama direktur kita. Sampeyan seperti biasa, tidak ada rasa kesal, tidak juga langsung menoleh, ya jika sedang ingin saja meladeni orang-orang.

Pusaran ingatan berputar cepat ke tahun-tahun awal sampeyan bergabung dalam perusahaan ini. Sedari awal hingga akhir sampeyan bekerja, posisi kita selalu sama: duduk berhadapan dengan penghalang komputer Mac selebar nampan.

Sampeyan begitu anteng, tapi nggragas via pesan singkat. Ada satu masa, saya tidak habis pikir dengan sampeyan, dan memutuskan menjauh. Tapi saya tidak sejauh itu, sampeyan terlalu asyik diajak bicara, bertukar pikiran, melucu, bahkan sampeyan punya bakat sebagai pendongeng, menceritakan kebodohan-kebodohan sampeyan dengan guyonan bahasa Jawa kental.

Saya masih ingat, suatu hari sampeyan bercerita masa-masa kuliah di ISI - Yogyakarta, tempat kuliah yang paling sampeyan inginkan. Dosen yang absurd, hantu mahasiswa dan mahasiswi yang kerap nimbrung saat menegerjakan tugas di kampus hingga larut, mata kuliah anatomi yang menyenangkan karena menggambar wanita bugil, bermabuk-mabukan, berantem, dan prinsip "low profile" ala lulusan ISI yang berbeda jauh dengan kerabatnya di Jakarta, IKJ.

Atau kebiasaan mabuk sampeyan sampai lupa lebaran. Tiba-tiba sampeyan terbangun di teras rumah dengan pintu dikunci, semua anggota keluarga sedang pergi silaturahim. Sampeyan hanya mengeluarkan kata "bajinguk", "asu", dan sudah. Tidak ambil pusing.

Semua orang bilang sampeyan cuek, hidup di dunianya sendiri, seniman eksentrik yang kejeblos dalam rutinitas kantoran, enggan bicara dan sebaliknya, mendengarkan orang. Tapi saya tidak merasakan itu.

Siapa yang paling emosi saat saya ditinggalkan oleh mantan pacar waktu itu. Sampeyan merokok di samping mendengar cerita saya dan berkomentar singkat,

"untung saya nggak kenal thu orang, kalo kenal saya hantem sekarang."

Sampeyan yang memegang kuat lengan saya waktu menangis kencang, dan meyakinkan semua baik-baik saja.

Sampeyan mengiyakan keinginan saya selalu, apapun, tanpa banyak pertanyaan.

Kuliah S2 hukum asik ya mas..

"monggo Mbak,"

Mas saya pingin di tato di dada sebelah kiri (sambil menyingkap blazer dan memperlihatkan draft tato temporer)

"Asik Mbak. Saya juga pingin tapi belum boleh sama Ibu,"

Sebenernya boleh nggak sih Mas dalam Islam?

"Tato tidak boleh itu kan karena menyakiti. Atau menutup pori, jadi air wudhu nggak bisa masuk. Tapi wudhu itu peristiwa spiritual yang melebihi itu semua kan Mbak."

Saya manggut-manggut dan sampai sekarang belum bertato juga.

Tumpukan buku John Grisham versi bahasa Inggris sampeyan berikan untuk saya, karena saya sedang gandrung-gandrungnya dengan pengarang itu. Segala kebendaan yang tidak terhitung, membuat sampeyan begitu berbekas dalam aneka rupa.

Hari demi hari di kantor rupanya saya demikian tergantung dengan sampeyan. Setidaknya tiga kali saya menyebut "mas". Entah menyapa, marah-marah, bercanda, curhat, kesal, sampeyan satu-satunya orang yang konsisten saya sebut "mas", dan semua orang mengikutinya.

Kita punya keasikan tersendiri yang membuat kanjeng ratu cemburu. Sampeyan sulit di dekati, saya malas, sehingga kita lebih banyak bersua di pesan whats-app.

Sore tadi saya cek komunikasi terakhir kita, adalah luapan emosi saya yang paling dahsyat. Penekanan dengan huruf kapital yang paling saya hindari dan tanda seru. Tapi semuanya tumpah hanya dengan sampeyan. Lalu sampeyan marah? Tidak.

Tidak ada ruang marah di hati sampeyan, karena sampeyan begitu tulus dan sabar menghadapi saya.

Pekan-pekan terakhir dalam hubungan profesional kita memanas ya mas. Sampeyan abai pada saya, dan saya semakin jengah.  Kita nyaris tidak bicara beberapa hari, ya selain sampeyan juga irit bicara, saya juga terus menghindari impresi yang terlalu kuat terpancar dari sampeyan saat bertatap mata dengan saya.

Saya bisa merasakan pesan-pesan terselubung yang sampeyan posting di grup jika saya mengeluh tidak percaya diri. Saya selalu terpana dengan kebisaan sampeyan merangkai satire yang saya rasakan begitu personal.

Mungkin saya yang terakhir menitikkan air mata karena pada akhirnya, semua rasa ini menyelinap terlambat, saya tak bisa lagi merayakannya di depan semua orang.

Terima kasih mas untuk empat tahun panas dingin kebersamaan kita. Saya merindukan selalu sampeyan dalam kesunyian, seperti kemarin sampeyan melangkah lebar ke meja, duduk merosot disana tanpa berkata, dan saya tenang ketika dengkur mulai terdengar.

*Sebuah catatan tentang teman, kakak, sahabat, Agung Tito Kurniadi yang berpulang 25 Januari 2016




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya

Pencarian Kartini

Njelimet