Pencarian Kartini


Bulan April, bulan untuk perempuan.

Bangsa ini mengenang seorang wanita bernama Raden Ajeng Kartini, sebagai tokoh pembaharu pada masanya. Ia menapaki curamnya tembok keraton dengan berbagi ilmu pada kawula. Gemar mencurahkan isi hati kepada kawan londo-nya, hingga menghasilkan kutipan yang dahsyat "habis gelap, terbitlah terang."

Maka hari kelahiran R.A. Kartini, 21 April, menjadi momen bagi wanita di Negara ini untuk merayakan simbol dunia hawa yang serba halus sekaligus menyebarkan pesan kekuatan.

Pertanyaan yang pop dan muncul di kolom-kolom testimoni biasanya, "siapa sih tokoh wanita yang mewakili Kartini-mu?"

Jawabannya aneka ria. Ada yang konsisten dan sebagian besar menjawab ibu kandungnya. Bisa juga tokoh itu yang sering terdengar kiprahnya di ranah sosial. Mulai dari pejabat pemerintah sampai selebritas. Semua bisa jadi Kartini, selama ia wanita tulen dan menggores kesan mendalam di bulan April.

Jelang pergeseran bulan, saya merasa perlu bercerita Kartini versi saya tahun ini. Dia adalah seorang Ibu, 32 tahun, memiliki dua putri. Anak pertama berusia 11 diikuti si bungsu 6 tahun.

Sesekali saya berjumpa jika dia sedang membereskan rumah. Kadang anak bungsunya mengintil Ibunya bekerja. Sesekali si kakak menyusul. Bertiga, mereka menjalani hidup tanpa kehadiran pria yang seharusnya menjadi ayah atau suami dari Ibu mereka.

Suatu hari dia bercerita perihal sosok pria yang menjadi mitos itu.

"Bojoku arep bocah lanang. Mangkane genti bojo Mbak. Nek karo aku wadon kabeh,"

Terjemahan bebasnya kurang lebih, pria itu kepingin anak laki-laki, makanya ia mencari istri baru.

Peristiwa konangan (ketahuan) terjadi dua tahun setelah si bungsu lahir. Dia tidak berkata banyak saat itu. Pun saat  mudik lebaran tiba, dia tidak lagi menyusuri rute Jakarta - Blitar sebagai keluarga utuh. Retak dalam merekah dengan kehadiran wanita lain dalam perjalanan.

Tak butuh waktu lama untuk dia menyadari rumah tangganya akan runtuh. Hingga suatu malam lelakinya pergi dalam kondisi panik. Pria itu mendengar kabar, wanita barunya bonyok dipukuli suami sah-nya.

Sungguh lah saat itu saya merasa iri luar biasa, gampang banget sih menikah itu?

Akhirnya, genap sudah langkah si pria meninggalkan dia. Dia menunjuk tempat saya duduk malam itu di ruang depan kontrakan petakannya.

"7 Juli 2015, itu tanggal dia keluar dari rumah ini,"

Saya terkesiap. Bahkan tidak sekalipun dia bergeser pindah rumah untuk melupakan kenangan kelam. Tidak setitik pun nada emosi dari awal dia bicara.

Pagi, pria itu berkemas dan berkata singkat akan pergi. Dia hanya menanggapi, monggo.

Dengan dua tas ransel penuh, pria itu menyiapkan motor, dan dia membantu membawakan satu tas supaya pria itu bisa leluasa memutar motornya.

"Piye Mbak, sanggup ngelakoni nek dadi aku?" (bagaimana Mbak, bisa menghadapi kalau jadi aku?) dia balik bertanya pada saya.

Tentu saja saya bilang rasanya pingin mati.

Tapi tidak dengan dia. Menurutnya, itulah cerita. Kalau tidak ada, hidup ini sepi.

Sesak mulai merayap ketika kedua putri ciliknya nyenyak bersisian dengannya, Bulir air mulai jatuh di pelupuk mata, menandakan sepertiga malam yang menyentuh kekosongan jiwa.

Esok hari berulang lagi. Hitungan secara matematis sudah tak mempan, Kalkulasi ekonomi bukan teori yang cocok dalam menghadapi ketimpangan rumah tangga. Maka dia memilih menjadi sebaik-baiknya lakon.

Tugasnya membesarkan anaknya. Jika suatu hari pria itu kembali, ia persilahkan dengan batas tegas. Toh status mereka masih terikat pernikahan sah. Dia tak terpikir berpisah, apalagi membuka lembaran baru dengan lelaki lain.

"Boleh aja bapaknya anak-anak dateng ngopeni, tapi untuk bareng...aku mikir puluhan juta kali."

Ngopeni bermakna menafkahi keluarga.

Saya terdiam memandang dia yang menatap ke tembok depan sambil memangku putri kecilnya. Segera saya meremas erat lengannya, berharap kami dapat saling menguatkan. Kartini saya ternyata bukan dia yang bangkit melawan, tapi dia yang menempuh jalur sunyi dalam penerimaan hidup. Diamnya begitu menyayat, kelapangan hatinya membuat saya terluka.

Dalam benak saya, Kartini ini tengah menyampirkan kain lap usang dan memegang sapu sore ini. Tersisip doa untukmu, semoga bisa meramaikan sepertiga malam nanti dan seterusnya.

***






















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya

Njelimet