Njelimet

Minggu siang ketiga saat gempita merayakan akhir pekan..

Terakhir kali menyambangi blog ini saya memutuskan membuang satu posting berjudul "cepat-cepatan dan banyak-banyakan". Posting ini menandakan puncak dari pamor blog Antasena. Walau berakhirnya harus cepat juga, tapi kini saya awali dengan kembali membuka blog untuk konsumsi umum, dan lebih tabah hati menghadapi publikasi, halah..

Berawal dari ibu. Sejak lama mama adalah tipe wanita yang serba bisa. Bisa memasak, menjahit, berkebun, menata bunga, kerajinan tangan, memarahi anaknya, berdandan, dan bekerja kantoran.

Sekarang ia sedang gandrung dengan aneka kerajinan tangan. Tapi yang menarik ini, origami, seni melipat kertas dari Jepang. Mama berguru pada seorang wanita Jepang di Kelapa Gading.

Suatu malam pulang kantor, ia memperlihatkan satu karyanya, berupa wadah segi enam dan bulat, lengkap dengan tutup. Wadah itu terbuat dari jalinan rumit lipatan kertas. Unik dan cantik.
Lalu saya teringat wadah segi enam ini mirip dengan wadah untuk kue Ekubo yang saya lihat di film 'Memoar of Geisha'. 

Berdasarkan buku Memoar of Geisha, Ekubo adalah kue khusus yang diberikan oleh Geisha perawan pada pria-pria pilihan. Maksudnya tidak lain seperti "hoi pak, keperawanan saya siap dilelang". 

Baiklah. Ibu saya berkomentar bahwa membuat wadah ini "sangat susah, butuh waktu sesorean, njelimet"..Aha!

Ini topik! Sebenarnya sudah budaya Jepang menyukai kerumitan. Dan dia punya sepupu dekat di sini, budaya Jawa.

Saya tidak bisa membeberkan keabsahan teori konyol-konyolan diatas. Tapi sepanjang saya hobi menelusuri nilai tradisional Jawa atau Jepang, kira-kira begini,

Geisha yang saya sebut diatas adalah cermin kerumitan yang sepadan dibandingkan dengan kerumitan putri Jawa, tanpa memasukkan konteks "fugsi" keduanya.

Geisha berarti pekerja seni. Sekalipun banyak yang mengasosiasikan dengan pekerja seks, namun secara singkat saya kira seks dan seni adalah unsur yang perlu dan sulit diterjemahkan hubungannya.

Karena geisha menjual kebisaannya menghibur dengan seni (walau belakangan juga seks), ia tampil se-artifisial mungkin. Semua orang tahu, wajah berpupur putih sepucat topeng yang tidak wajar, di hiasi dua garis alis hitam, pipi merona bulat, dan bibir mengkuncup merah tomat, itu dia geisha.

Tapi tidak banyak yang paham bahwa setiap unsur yang menempel pada geisha punya makna. Dari ujung kepala hingga kaki, disisipkan arti yang bisa digali semakin dalam seseorang mengenalnya, minimal menelanjangi dengan tatapannya.

Rambut geisha ditata dengan gelungan yang sarat sasak. Bentuk belakangnya sedemikian rupa sehingga tersembul kain merah yang diibaratkan organ intim perempuan. Turun sedikit, bentuk kimono yang cowak di daerah punggung memperlihatkan tengkuk yang digambar seperti huruf 'W'. Katanya pria Jepang menganggap tengkuk dengan pola seperti bayangan itu seksi. 

Belum soal kimono. Jubah kebesaran wanita Jepang ini terdiri dari kain bermeter-meter panjangnya. Ia dibalut dengan kencang ke tubuh geisha. Ini bisa jadi petunjuk juga untuk membedakan mana geisha "ting-ting" dan geisha senior atau "tidak perawan". Geisha dengan motif kimono yang ceria, warnanya mencolok, dan kain lapisan dalam berwarna merah, berarti ia masih perawan. Sebaliknya si senior lebih bersahaja dengan motif dan warna yang lembut, serta dalaman berwarna putih.

Soal cari perawan atau tidak juga bisa dilihat dari tusuk konde. Geisha perawan tusuk kondenya meriah. Misalnya kumpulan bunga sakura. Geisha senior motifnya sederhana saja.

Apa kabar dengan putri Jawa? tidak jauh. Dari kepala sampai kaki pun sarat arti. Putri dari kesultanan Agung dan turunannya (Yogyakarta, Solo) saat menikah akan memperlihatkan berpakaian adalah pekerjaan maha besar.

Rambut si putri akan digelung berhias kembang goyang. Kembang ini jumlahnya lima yang mengartikan lima rukun islam. Lalu ada hiasan menyerupai gerbang di kiri-kanan atas pelipis, artinya si perempuan siap memasuki gerbang rumah tangga.
Lalu ada paes, atau motif yang digambar di sekitar dahi perempuan. Bentuknya meruncing, lalu diwarnai hitam pekat. Kedua lengan si perempuan dilingkari gelang yang berbeda bentuk. Maknanya sekitar menjadi penjaga keluarga.

Soal busana, putri Jawa akan terbalut dengan kain batik bermotif drama Rama-Shinta - hikayat klasik yang menceritakan kesucian cinta- dengan harapan rumah tangga akan langgeng seperti kisah Ramayana. Bercerita lewat media wayang soal Ramayana saja butuh semalam suntuk, kebayang deh cerita serupa dituangkan dalam kain...

Untuk menguatkan jalinan kain, ditambahkan ikat pinggang yang disebut pending. Pending berlapis emas ini disertai dengan jalinan bunga, dengan harapan rahim si perempuan subur.

Makna dari berpakaian saja sudah ruwet. hingga geisha punya slogan sendiri bahwa "kecantikan dan penderitaan selalu bersebelahan". Belum dengan ritual lain yang aduhai rumitnya, hingga ia semakin tergeser dan ditinggalkan. Masa kini ideal dengan cepat dan praktis.

Jadi, apa kesimpulan dari kerumitan antara sepupu Jepang dan Jawa? saya juga tidak menemukan yang perlu disimpulkan. Buat saya kerumitan itu indah. Yang menjadikan tradisi itu ketinggalan adalah penghargaan terhadap kehidupan, dan saya berharap kerumitan itu tetap ada sepanjang zaman.

Sekian..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pencarian Kartini

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya