Label or Love

Kita mencintai sesuatu untuk perkara sepele, sentimental. Seperti saya mencintai merk Sony dan Nivea.

Sony -selain nama panggilan manajer saya- sebuah merk peralatan elektronik asal Jepang. Tidak ada penanda waktu yang tepat untuk ketertarikan pertama. Bisa jadi ini murni infiltrasi sejak kecil. Televisi di rumah keluaran Sony, berbentuk kotak hitam, cembung di belakangnya, biasanya menghangat jika terlalu lama dinyalakan. Mungkin karena ini kucing saya hobi tidur di atas tv. Jika si mpuss nyenyak, ekornya menjuntai ke layar. 

Atau saat saya naksir telepon seluler Sony Erricsson versi walkman. Ini kali pertama saya mengincar ponsel dengan alasan desain menarik. Biasanya karena keterbatasan dana, apa saja ponsel selama harganya terjangkau saya sikat. Ponsel ini bentuknya flip atau lipat, rasanya keren saat terima telepon, tinggal buka pakai jempol, ponsel terbuka. Warnanya ungu magenta, di permukaan ponsel terdapat layar yang integral. Jadi saat ada pesan masuk, telepon, atau menyalakan musik, running text berpendar keunguan. Diperkuat dengan sound system bawaan Sony, ya sudahlah ya, ponsel ini sempurna jadi pasangan hidup.

Setelah itu Sony bercerai dengan Erricson, seri ponselnya menjadi Sony Experia. Saya tidak berkutik, malah makin cinta. Sony Experia menjanjikan sebuah telepon pintar sarat amunisi penghibur. Kualitas Sony walkman tidak usah dipertanyakan, kamera menggandeng lensa Carl Zeiss, tahan air, tahan debu, tahan bantingan, baik sengaja maupun tidak. 

Kini televisi saya, flashdisc, earphone yang bolak-balik hilang, semua Sony. Jika saja laptop masih ada Sony Vaio atau lampu, elektronik lain keluaran Sony, ya saya hanya beli merk itu. Kecintaan yang seharusnya dipertanyakan, mengingat layanan purna jual Sony luar biasa ambyar. Berpuluh review di sosial media mengeluhkan kinerja purna jual, bahkan kawan karib saya sendiri merasakannya. Ponsel Experia-nya harus di perbaiki. Pusat layanan hanya ada di Roxy. Biaya suku cadang mahal, tidak ada jaminan masih tersedia untuk satu seri, lebih kenyang, memakan waktu hingga berbulan-bulan. 

Toh saya tetep kekeuh menabung membeli ponsel Sony Experia Z3. Cinta ini terlalu, fanatik, tak terbantahkan.

Soal Nivea, saya tahu kapan mulai menambatkan hati padanya. Tahun 2010 saya membaca buku orbituari teman dekat Ibu, saya memanggilnya Om Kris. Seorang pria yang datang misterius dalam kursi roda saat saya di bangku SMA. Dalam salah satu bab orbituari ada kutipan dari anaknya yang kurang lebih seperti ini,

"Papa selalu menggunakan krim Nivea, kebiasaan sejak kuliah di Jerman. Karena itu hingga papa tua kulitnya tetap halus tidak berkeriput,"

Maka produk perawatan kulit saya semuanya Nivea. Sabun, pelembab bibir, pembersih wajah, pelembab tubuh, deodoran. Semua teman saya kabarkan soal kesahihan krim Nivea. Saya rela mengais sisa-sisa pelembab bibir selama saya tidak menemukan pelembab bibir Nivea di toko manapun, mata saya berbinar saat melihat pembersih wajah Nivea di meja rias sepupu, selanjutnya saya terima berapapun harga produk tersebut asal Nivea.

Selalu menjadi pekerjaan rumah karena dua merk ini bukan merk populer. Sony bukan pemain utama dalam pasar elektronik, pun Nivea juga harus bersaing keras dengan merk di bawah bendera Unilever, seperti Vaseline dan Dove. Hati ini mencelos waktu membaca perusahaan Sony mulai melepas lini bisnisnya, atau Nivea yang menarik produk pelembab bibirnya. 

Tapi seperti itu kan lingkaran cinta. Semakin mendamba justru saat kita tahu perlahan akan kehilangan. 







 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pencarian Kartini

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya

Njelimet