Kura-kura Merdeka
Seorang teman bertanya, "apa ya kalimat yang pas
menggambarkan 'merdeka'?"
Terlintas di kepala saya cuma "merdeka atau mati".
Sungguh produk sukses infiltrasi konsep NKRI. Pertanyaan itu berlalu tanpa solusi, hingga tadi siang saya
melihat dua kura-kura kecil di akuarium milik keponakan saya.
Dua kura-kura itu dibeli mendekati dua tahun lalu. Ukurannya
masih piyik, selebar telapak tangan bocah lima tahun. Tempat tinggalnya kotak
berdinding plastik tebal seukuran 30x40 cm. Permukaannya selalu diisi air dan
batu-batu tempat si kura-kura memanjat.
Keponakan saya menamai si kura-kura Stella dan Mario. Saya
tidak paham mana yang jantan dan betina, tapi keponakan saya bisa membedakan
mana si Stella atau si Mario. Seiring waktu namanya berubah beberapa kali, tapi
yang paling saya ingat ya cuma Stella-Mario ini.
Kini duo kura-kura semakin besar tubuhnya. Kotak kaca yang
diletakkan di meja dapur kering membuat siapa saja yang duduk di meja makan
bisa melihat mereka. Makan siang rasanya tak enak karena disamping saya
Stella-Mario saling tumpang tindih merengkuh puncak akuarium. Kadang mereka
diam, kadang lehernya dengan kulit berlendir itu menjulur- julur seolah ingin
tahu ada apa di luar kotak kacanya.
Saya bertanya pada ibu, kenapa duo kura tidak dilepaskan di
pekarangan. Kasihan mereka, tubuhnya sudah menjelma selebar telapak tangan
saya, kandang itu terlalu sempit. Ibu menjawab, karena mereka bisa hilang di
rerumputan. Susah mencarinya. Keponakan saya sudah bosan, malah abai untuk
sekadar mengawasi peliharaan mereka melepas penat di alam terbuka.
Menjelang sore saya mencari cara untuk membebaskan
Stella-Mario sejenak, tanpa saya harus menunggui mereka berjalan-jalan. Saya
menemukan kardus yang cukup besar, sepertinya bisa menjadi pagar portabel. Si
duo kura pasti senang, mereka bisa berjalan-jalan lebih lega, menyentuh
rerumputan yang menjadi habitat alami mereka, dan seperti saya, menikmati
hembusan angin sore beratapkan langit biru.
Segera saya pindahkan kura-kura ke kardus. Beberapa menit
pertama, mereka malah kaku tak bergerak. Apa saya salah sangka? jangan-jangan
mereka sudah betah di kandang. Perlahan mereka mulai berjalan, menyusuri area tengah, makin
lama makin cepat jalannya. Saya senang. Saya mulai menjauh dan kembali
memainkan ponsel.
Tidak lama kemudian salah satu kura terjepit diantara
lekukan penutup kardus. Tangannya menggapai-gapai, saya hampiri untuk
memeriksa. Rupanya mereka sudah mengerti bahwa kardus ini portabel, dengan
sedikit dobrakan, mereka bisa bebas dan menjemput kemerdekaannya.
Dilema.
Satu sisi saya ingin membiarkan duo kura ini bebas dari
kandangnya, sisi lain saya tidak enak karena pemilik resmi adalah keponakan
saya. Ibu saya yang pecinta binatang pun mulai tergantung pada duo kura ini.
Kepada mereka Ibu mencurahkan perhatian jika anak-anaknya sedang tidak di
rumah.
Kura yang satu terus berusaha menerobos tutup kardus, makin
giat. Kepala mereka semakin terjulur tinggi seolah mencium kemerdekaan mereka
tinggal sesenti lagi. Dan itu tidak salah. Mereka sudah menjejak tanah dan
rerumputan, diluar kardus sialan ini hamparan rumput hijau sudah menanti.
Mereka tidak perlu lagi berdesakan di kandang kaca, menjadi pajangan, termangu
menatap semua orang bergerak bebas, dan hanya duo kura itu yang setiap tiga
langkah tertabrak pembatas.
Saya semakin bingung, mencoba mencari pembenaran sambil menatap jam, sudah 15 menit sejak kura-kura ini dilepaskan, cukuplah waktu
rekreasi mereka. Rasanya seperti sipir penjara yang menggiring tahanan kembali ke
sel. Pertama duo kura diangkat dari akuarium, mereka diam tak peduli, atau
tak berdaya. Kali kedua saya angkat untuk mengembalikan ke akuarium, keduanya
melawan dengan mencakar-cakar tangan saya.
Hati ini menjadi lebih tidak enak lagi. Kini saya merasa
semakin merasa bersalah karena telah menciptakan harapan hampa bahwa duo kura
akan bebas. Ide awal memberi mereka sedikit ruang untuk bernapas berakhir
gagal total. Maafkan saya Stella-Mario.
Senja mulai turun, lampu ruang makan menyala. Petang menjadi
terang untuk duo kura.
Bahkan kura-kura pun mengerti nalurinya adalah bebas,
merdeka. Tempatnya bukan terkotak-kotak, tapi hamparan. Ia akan terus mencari
apa yang menurut nalurinya sudah benar. Sekalipun harus terjepit, atau harus
melawan yang tak mungkin, tangan makhluk digdaya bernama manusia.
Kali ini saya memaknai kemerdekaan bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk seluruh makhluk hidup yang memiliki caranya sendiri dalam mengartikan merdeka.
Merdeka itu lapang. Tidak terbatas, tidak berbatas.
Kejadian ini persis sehari sebelum peringatan kemerdekaan Indonesia ke-70. Jadi selamat hari merdeka Indonesia. Merdeka di darat, laut, udara beserta seluruh isinya.
Komentar
Posting Komentar