Sawahlunto : Periuk Bara dari Sumatera Barat



Kenapa kamu harus ke Sawahlunto ?

Karena kota ini memerangkap suatu masa. Perubahan terasa lambat sejak ia ditemukan pada Abad 19. Berjaya karena kandungan batu bara melimpah, meredup setelah terkikis eksploitasi, ditinggalkan setelah intan hitamnya habis, dan bangkit di tangan putra daerahnya sendiri.

Sawahlunto luasnya tidak lebih dari satu wilayah kotamadya Ibukota Jakarta. Seperti cendawan, kota ini terletak di dasarnya. Tepiannya adalah kepungan tebing dengan hutan perawan. Bagi saya tidak ada yang lebih menarik dibanding kota kecil yang menyimpan cerita seterjal tebingnya, sepanjang jalan mencapai kesana. 

Saya menempuh perjalanan dengan rute kota Padang - Solok - Sawahlunto. Mendarat dengan sukses pukul 8 pagi, saya tiba di Sawahlunto jelang petang setelah mampir ke Danau Atas-Bawah di Solok. 

Saya tidak melihat gapura selamat datang atau sejenisnya. Tiba-tiba pemandangan rimbun pohon berganti deretan pemukiman. Jalan cukup untuk dua kendaraan roda empat, di depan, jembatan busur berlatarkan dua silo penyimpanan menjulang dengan conveyor belt, itulah pabrik batu bara Ombilin. Bus berhenti di tengah kota, pelataran gedung PT Bukit Asam -yang kini tidak lagi beroperasi - menjadi landmark kota.

Saya senang berjalan kaki. Ukuran saya soal kota yang menyenangkan adalah memungkinkan berjalan kaki dengan nyaman, trotoar atau fasilitas pedestrian tersedia. Sawahlunto memenuhi kategori ini. Museum Gudang Ransum terletak 500 meter dari parkir bus, saya berjalan kaki diantara deretan rumah warga yang seragam.

Apa itu gudang ransum ? Bangunan peninggalan Hindia Belanda yang fungsinya sesuai dengan namanya, tempat penyimpanan dan produksi ransum untuk pekerja tambang pada akhir 1890an. Museumnya bersih, ada ruang audio visual, harga tiket masuknya empat ribu Rupiah. Dinding museum dipenuhi panel informasi. Sejarah berdirinya Sawahlunto, dokumentasi yang diperbesar, serta operasional gudang ransum sendiri. 

Kuali-kuali super besar tergantung di tengah ruangan. Sendok pengaduknya saja sepanjang kaki saya, terus orangnya harus segede apa biar kuat ngaduk masakan? 

Panel informasi mencatat, manajemen gudang ransum beberapa kali pindah tangan. Sempat dipegang oleh pedagang Cina, ternyata ketahuan ada praktik korup. Dikembalikan pada pemerintah Hindia Belanda, idem. akhirnya gudang ransum berada di bawah kendali manajemen perusahaan yang sepertinya lebih baik.

Pertambangan masa lalu dekat dengan perbudakan. Orang rantai adalah budaknya tambang Ombilin. Mereka narapidana yang didatangkan dari penjuru negeri untuk bekerja di tambang. Selama saya lihat di foto sih nggak ada pekerja yang dirantai, apalagi mandor memegang cambuk. Menurut saya kalau perusahaan berusaha menyediakan konsumsi yang baik dengan adanya gudang ransum, setidaknya ini pemerasan yang berkelanjutan. Semoga...
 
Lalu siapa Mbah Suro (atau Soero) ? Bukan, dia bukan kuncen gunung. Dia mandor. Legendaris karena satu-satunya mandor pribumi Jawa diantara mandor impor dari Belanda. Satu rumah dan satu lubang sisa pertambangan mengabadikan namanya. Apa yang tidak tercantum di panel informasi adalah kebijakannya sebagai seorang mandor. Guide dan seorang warga bercerita pada saya bahwa Mbah Suro memimpin anak buahnya dengan baik dan disegani.

Karena cuma semalam, saya tidak sempat ke lubang Mbah Suro. Dari penelusuran kemudian, kondisi pekerja tambang yang sesungguhnya ada disini. Ditempat yang menyisakan belenggu, dan patung perunggu para pekerja yang mendorong gerobak penuh batu bara.

Jelang malam saya diantar ke hotel Parai Garden City. Satu-satunya hotel bintang tiga di Sawahlunto yang menempati bangunan kolonial. Dulunya bernama W-1, rumah untuk dokter yang ditugaskan Hindia Belanda di Sawahlunto. 

Di simpang jalan ada gedung Societeit yang kini menjadi Pusat Kebudayaan Sawahlunto. Gereja katolik, apotik, toko kelontong, masjid raya, masih menempati bangunan tua yang terawat.

 Malam terasa sepi di hotel yang terletak di puncak bukit. Pemandangan pasar membuat saya nekat mencolek dedek karyawan hotel untuk menemani saya ke pusat kota. Saya beruntung, Dedek yang bernama Putra itu, adalah pemuda setempat yang manis dan baik hati. Tujuan utama saya melihat gedung Societeit, bertabur bonus dengan mampir ke gereja protestan, keliling kota, dan museum kereta api.

Sambil berjalan, saya bertanya soal Amran Noor, Walikota Sawahlunto yang terpilih oleh Majalah Tempo sebagai kepala daerah terbaik tahun 2011. Putra bercerita Noor adalah sosok yang menghidupkan Sawahlunto sebagai kota wisata. Bangunan klasik ia pugar, untuk sebuah kota kecil, terdapat dua pusat informasi wisata buat saya itu WOW. Noor pula yang mencetuskan pembangunan Waterboom atau wahana air pertama di Sumatera Barat. Jalur kereta wisata dihidupkan. Lokomotif uap Mak Itam menarik kereta wisata satu minggu sekali. 

Menurut seorang warga yang saya temui esok harinya, jika bisa, warga akan terus memilih Noor sebagai walikota seumur hidup. Sayang ia sudah menjabat dua periode, dari 2003 hingga 2013. Tampuk kekuasaan harus diserahkan pada orang lain. Warga memilih seorang penerus Noor dengan harapan ia akan meneruskan kebijakannya. Ternyata meleset. Sama seperti ekspektasi saya untuk melihat Mak Itam dari dekat yang kandas, karena kini Mak Itam masuk kandang, tidak ada lagi jadwal kereta wisata, tidak ada lagi gelombang turis yang ingin merasakan jalur nostalgia bersama asap pembakaran batu bara kereta.

Sawahlunto adalah kota dengan masa pakai. 

Sejak geolog Willem Hendrik de Greve menemukan cadangan batu bara melimpah pada 1858-1870, seharusnya ia juga menghitung kapan kota ini harus ditinggalkan, karena pertambangan batu bara menjadi kegiatan ekonomi utama, kalau tidak mau disebut hanya batu bara. Selayaknya sumber daya alam tidak terbarukan, baru bara akan habis suatu hari, dan saat itu tiba memasuki tahun 2000.

Jauh dari posisi strategis, infrastruktur dibuat semata sebagai penopang kegiatan pertambangan, terputus dari daerah lain karena lembah menghadang. Saat PT Bukit Asam resmi memindahkan operasinya ke Muara Enim, Sumatera Selatan, penduduk kota ikut surut karena tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Saya menghargai visi Noor yang tajam melihat potensi. Ia menetapkan sektor pangan dan pariwisata sebagai katalisator pembangunan menggantikan pertambangan. Pemerintah berjalan ala perusahaan swasta, hitung ketat untung-rugi. Investasi harus menghasilkan, dan dia berhasil. Dua tahun sesudah masa kepemimpinannya berlalu, saya masih bisa menyecap kerja kerasnya.

Hotel tempat saya menginap, adalah hasil sulapannya dari gedung tidak terpakai. Ketika bus melaju meninggalkan pusat kota, yang ada hamparan sawah-sawah-sawah. Sungai dengan air jernih berkilauan menemani perjalanan saya menjauh dari Sawahlunto. Terkadang ada turbin di batang sungai -saya duga menjadi pembangkit listrik-. Diantara hamparan karpet hijau ini muncul cerobong berwarna belang merah-putih. Ternyata itu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin yang entah kenapa, tampak harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Saya termangu, kota ini luar biasa. Ruas jalannya teraspal sempurna, tidak ada bopeng sedikitpun. Pemerintah daerah yang lebih kaya seharusnya malu. 

Sambil menikmati pemandangan jam istirahat sekolah, saya jadi ingat malam saat berjalan-jalan dengan Putra. Sambil mendengar ceritanya, saya memperhatikan banyak gerombolan pemuda di depan gedung Societeit. Beberapa pemuda lain saya temui kebut-kebutan motor di depan museum kereta. Sementara yang lain bermain skateboard di peron stasiun.

Semoga mereka berkumpul untuk merayakan waktu senggang setelah seharian beraktivitas, bukan mengisi kekosongan karena kota ini mulai kembali pada kecenderungan alamiahnya, memilih mati setelah habis daya.


***






 



 






 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya

Pencarian Kartini

Njelimet