Mas, aku juga bodo lho...


"Berpura-pura bodohlah sesekali di depan pria. Cukup untuk membuat mereka merasa tersanjung,"

Penggalan petuah Ibu kepada anaknya.

Baru-baru ini saya dikenalkan kepada seorang lelaki berwajah kekanakan dengan lesung pipi manis setiap senyumnya tersungging. Pertama saya melihatnya lewat foto, dalam foto tersebut, dia memegang secarik kertas bergambar peta Indonesia yang dibuat dengan pensil.

Tidak lama kemudian pria ini menghubungi saya lewat media sosial.

Pertanyaan mengalir satu arah, saya menjawab. Dari siang berlanjut malam, besok pagi, malam lagi dan seterusnya. Bukannya itu tandanya obrolan itu nyambung. Ada yang sok tahu, kepinteran, ato kelucuan. Pokoknya sama-sama punya topik, ketik.

Waktu ketemu pertama, grogi tapi nyaman juga ngobrolnya. Saya nggak merasa perlu berdandan pol, pake baju terbagus, karena merasa udah cukup veteran perkara pencitraan.

Malam sesudah pertemuan, hp berbunyi : "udah sampe Ta?" Ini tanda dia mau lanjut!

Seminggu kemudian komunikasi semakin intens. Perkara berhubungan sama anak media menyisakan pekerjaan rumah besar, pola kerja yang terbalik. Sebagai anak kantoran, pola kerja saya dimulai pagi hingga petang. Sebaliknya, sebagai awak media, kerjanya dimulai saat matahari tenggelam hingga larut malam.

Rasa itu racun sodara-sodara.. Saya sabar menanti setiap jelang tengah malam untuk di telepon dan berbincang hingga dini hari. Mengabaikan hidup pagi saya yang membutuhkan kesadaran.

Pada suatu hari saya berhitung. 12 hari lagi sebulan sudah kami berkenalan. Akankah ada perkembangan baik dari pertemuan kami ?

Pagi biasanya, saya menelepon untuk membangunkan dia. Hari ini kamu ngajar pagi euy.

Nggak diangkat. Sudah biasa. Saya lewatkan sampai jelang makan siang sambil iseng cek last seen aktivitasnya di sosial media. Wah baru saja dia aktif. Biasanya akan langsung dibalas.

Tengah hari sampai sore idem. Tidak ada kabar.

Malam tidak ada pertanyaan apakah saya sudah pulang. Ini jelas ada yang salah.

Tengah malam saya ketik pesan, "katanya mau telepon," ...

Dia enggan melakukannya. Sambil mengirim emoticon sedih, dia merasa tidak enak karena saya sering terlambat masuk kantor. Sudah satu jam lewat tengah malam saat itu.

Saya balas, "lebih baik terlambat daripada penasaran. Ada apa hari ini?"

Baris demi baris teks muncul. Semakin ke bawah semakin sesak. Ini dia tahap panas-dingin gebetan. Semua di ujung tanduk dan terasa mematikan.

"aku rasa kita equal,"

Equal yang diterjemahkan secara bebas sebagai sejajar, seimbang. Dia menyebut pemikiran dan mental saya telah terbentuk sedemikian rupa, sehingga kami rasanya akan cocok sebagai teman berdiskusi.

*sakitnya dimana-mana*

Sebagai lelaki, dia ingin bisa membimbing pasangannya. Paripurna sudah tugasnya jika ia bisa seperti semboyan Kepolisian RI, melindungi dan mengayomi.

Pemikiran pertama : Siapa yang gila ? Apa karena saya mengerti semua isu yang dilontarkan berarti saya tidak butuh laki-laki sebagai pemimpin masa depan kelak ?

Pemikiran kedua : Lalu kenapa kamu dekati saya ? Kami ini dulu sekantor di media besar tapi tidak sempat kenal. Bukankah terlalu naif mencari seorang wanita yang, errrr, katakanlah halus dan rapuh, di sebuah kota besar, dengan riwayat bekerja di sebuah lembaga yang membutuhkan kepribadian terpilih?

Pemikiran ketiga : Oke, saya resmi patah hati lagi. Ini konyol. Kenapa saya tidak butuh dia kalau saya rela melewatkan tidur malam dan memerahkan laporan absensi di kantor. Berkeliaran di area Cikini tempatnya biasa bersarang, dan tiba-tiba ingin banyak tahu teknik menggambar.

Cinta tidak pernah mudah. Saya jadi teringat petuah tua yang timeless itu, mungkin saya lupa menjadi bodoh sesekali. Mungkin saya menolak tampak rapuh karena hidup ini sudah terlalu keras untuk bermain-main dengan sandiwara.

Karena rasa ditentukan 0.013 detik oleh neuron otak, dan itulah kebodohan saya yang paling mutlak. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya