Jangan Datang Sekarang...Atau Nanti
"Aku tidak terlalu senang dia datang, karena aku tahu dia akan pergi."
Intisari pembicaraan dua ayah yang bernasib sama, ditinggal anak tercinta yang sedang mengejar asa di kota lain.
Sore mendung saya duduk di mobil satu bapak itu. Sendirian di jok tengah - dalam posisi anak- dan termangu saja mendengar keluh kesah dua bapak di depan saya.
Bapak pemilik mobil punya satu anak perempuan yang baru saja menjadi mahasiswa kedokteran di Yogyakarta. Saya ingat betul di hari keberangkatan putrinya saat bulan puasa, wajah si bapak yang biasanya sumringah menjadi melorot dan sibuk menggaruk-garuk kepalanya tanpa alasan.
Bapak kedua punya tiga anak, dan anak tengahnya memutuskan ingin masuk asrama. Kebetulan anak tengah ini digambarkan sebagai yang paling mirip dengan ayahnya, dan hancurlah hati si ayah saat melepas si anak masuk gerbang asrama di Sukabumi. Bapak ini menceritakan pada saya,
"Saya menyetir mobil berisi empat orang, tiga orang menangis terus, dan satu orang bengong saja. Saya yang bengong karena di kaca mobil yang terlihat bayangan anak saya."
Pilu sekali rasanya sampai mata saya ikut basah.
Ayah ternyata menyimpan rasa kehilangan yang sangat besar, namun mereka hanya bisa diam saja. Menangis pun urung karena masih ada istri atau anak yang membutuhkan sandaran. Begitukah perasaan ayah saya saat dia meninggalkan saya untuk tinggal di yogyakarta?
Atau perasaan yang ia pendam selama 20 tahun terakhir setelah perpisahannya dengan ibu saya?
Kini saya pun mengambil sikap yang sama dengan ayah-ayah yang teramat menyayangi anaknya,
Aku terlalu takut berharap kamu datang, karena itu jangan datang, karena kamu akan pergi...
Intisari pembicaraan dua ayah yang bernasib sama, ditinggal anak tercinta yang sedang mengejar asa di kota lain.
Sore mendung saya duduk di mobil satu bapak itu. Sendirian di jok tengah - dalam posisi anak- dan termangu saja mendengar keluh kesah dua bapak di depan saya.
Bapak pemilik mobil punya satu anak perempuan yang baru saja menjadi mahasiswa kedokteran di Yogyakarta. Saya ingat betul di hari keberangkatan putrinya saat bulan puasa, wajah si bapak yang biasanya sumringah menjadi melorot dan sibuk menggaruk-garuk kepalanya tanpa alasan.
Bapak kedua punya tiga anak, dan anak tengahnya memutuskan ingin masuk asrama. Kebetulan anak tengah ini digambarkan sebagai yang paling mirip dengan ayahnya, dan hancurlah hati si ayah saat melepas si anak masuk gerbang asrama di Sukabumi. Bapak ini menceritakan pada saya,
"Saya menyetir mobil berisi empat orang, tiga orang menangis terus, dan satu orang bengong saja. Saya yang bengong karena di kaca mobil yang terlihat bayangan anak saya."
Pilu sekali rasanya sampai mata saya ikut basah.
Ayah ternyata menyimpan rasa kehilangan yang sangat besar, namun mereka hanya bisa diam saja. Menangis pun urung karena masih ada istri atau anak yang membutuhkan sandaran. Begitukah perasaan ayah saya saat dia meninggalkan saya untuk tinggal di yogyakarta?
Atau perasaan yang ia pendam selama 20 tahun terakhir setelah perpisahannya dengan ibu saya?
Kini saya pun mengambil sikap yang sama dengan ayah-ayah yang teramat menyayangi anaknya,
Aku terlalu takut berharap kamu datang, karena itu jangan datang, karena kamu akan pergi...

Hmmm... pertemuan dan perpisahan, kata satu puisi Jokpin, dilahirkan oleh perasaan. Tapi, eniwei, senang membaca tulisanmu lagi, Dwita!
BalasHapusKamsia mas..:)
BalasHapus