BPJS

Haruskah perusahaan berbaik hati dengan berbagai tunjangan untuk karyawannya ?

Pertanyaan ini menggelitik sehabis ikut sosialisasi benefit kesehatan perusahaan Jumat lalu. Sebagai karyawan yang mulai "berjamur" di kantor saya sekarang, rasa-rasanya sudah tidak berekspektasi tinggi lagi dengan fasilitas perusahaan.

Sosialisasi diadakan karena mulai tahun 2014 Pemerintah mewajibkan semua perusahaan mendaftarkan karyawannya di program asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kayaknya semua orang kalo denger singkatan ini langsung semangat, soalnya konon ikutan BPJS menjamin biaya kesehatan digratiskan, selama ikut prosedur.

Nah, selain menjelaskan BPJS, pihak HRD kantor juga menjelaskan kebijakan baru perusahaan soal benefit kesehatan yang terdiri dari tunjangan rawat inap, rawat jalan, kaca mata, dan uang suka cita. 

Sore itu ruang meeting kapasitas 30 orang membludak jadi dua kali lipat. Saya dan teman kedapetan duduk di tepian jendela. Jam 3 lebih sedikit masuk Direktur HRD beserta manajer bagian benefit dan payroll. Ruang meeting mulai bising..

Lalu setelah sst-sst-ssst...Direktur HRD yang berwajah ramah namun garang di belakang itu mulai bersuara. Intinya dia menjelaskan saat ini karena perusahaan wajib mendaftarkan BPJS untuk karyawan, yang berarti membayar iuran sebesar 4 persen dari gaji karyawan setiap bulan. Praktik lazim, 4 persen itu ditanggung bersama antara perusahaan dan karyawan, dengan rasio bayar perusahaan lebih besar.

Namun perusahaan saya yang hobi mengadali karyawannya ini punya kreatifitas dalam memperoleh sumber pembayaran iuran BPJS. Pertama-tama 4 persen tadi dibagi menjadi 3 persen ditanggung perusahaan dan 1 persen karyawan. Terus beban perusahaan di ambil dari, tunjangan kesehatan rawat jalan karyawan yang peraturannya sebesar gaji pokok satu bulan untuk satu tahun. 

Seisi ruangan senyap.. sedang memeras otak mencerna maksudnya. Lalu seseorang mulai angkat tangan, 

"Jadi sebenarnya perusahaan nggak membayar apapun dong karena 4 persen tadi dipotong dari hak karyawan?"

Dang! tangan-tangan mulai berebutan menunjuk, suara "wooooo" bikin suasana makin panas, dua perwakilan HRD cuma bisa pasrah jadi bully-an. Saya di pinggir cengengesan ngenes. Satu sisi kasihan sama orang HRD yang berdiri nggak jauh di depan saya, sisi lain saya karyawan juga yang merasa amat dirugikan.

Akhirnya jawaban pamungkas (saya yakin udah latihan untuk jawaban ngeles ini) direktur HRD adalah, perusahaan masih membantu dengan benefit kesehatan yang bisa diklaim (setelah dikurangi 3 persen tadi). Jadi Anda bisa pilih mau pake BPJS atau klaim ke perusahaan. Kami sarankan pergunakan benefit kesehatan Anda sebaik-baiknya.

Dengan kata lain, dilarang sakit. Yaiks!

Dengan mental baja si direktur melanjutkan ke bagian uang suka cita. Yang dimaksud suka cita ini sebenarnya tunjangan melahirkan dengan nominal sesuai tindakan. Lahir normal, sesar, atau khusus. Entah kenapa disebut "suka cita", saya rasa karena jumlahnya hanya cukup untuk "bersuka ria" alih-alih mengganti biaya persalinan.

Karena wanita-wanita di kantor sedang hobi beranak sampai ruang menyusui tidak pernah kosong, bagian presentasi ini dihujani pertanyaan tajam dari para ibu-ibu. Sampai seorang Ibu bertanya,

"bagaimana jika saya klaim ke kantor dengan kwitansi copy legalisir, karena kwitansi asli sudah diserahkan ke kantor suami ?" 

Jelas saja tidak bisa. Tapi saking stres-nya tuh orang HRD sampe salah ngomong dengan bilang pertama "bisa dengan copy legalisir". Si Ibu langsung mencecar sampai hakul yakin ini benar.

Sampai sini saya jadi mikir, apa maunya sih Ibu-ibu satu ini. Mulai mengada-ngada deh. Kalau saya jadi HRD-nya tentu saja saya akan bilang, "nyonya, yang hamil kan situ. yang mau punya anak situ, kenapa perusahaan yang repot?"

Saya setuju jika perusahaan wajib "memelihara" karyawannya dengan benefit prinsip, seperti kesehatan. Laiknya mesin perlu maintanance, biar nggak rusak. Atau kalau rusak di servis, ya demikian juga karyawan. Sebagai "mesin bernyawa" maka kesehatan adalah aset penting untuk perusahaan. Sebagai entitas berorientasi bisnis, ogah rugi itu jelas. Maka benefit kesehatan adalah investasi jangka panjang berbalut tanggung jawab sosial. 

Tapi kalau kaya si ibu itu yang pingin beranak gratisan, sampe ngejer klaim kantor suami dan dia sendiri, wah mohon maaf saya nggak setuju. Itu namanya serakah. 

Setiap perusahaan punya kebijakan sendiri berapa nominal yang dianggarkan untuk kesehatan karyawan. Sesungguhnya banyak perusahaan lain punya anggaran lebih besar daripada perusahaan saya. Tapi nggak jadi alasan untuk menangguk untung sana-kemari juga. Mau lahiran gratis ya kerjalah di perusahaan yang punya plafon uang kelahiran unlimited, jadi nggak usah pusing dengan satu kwitansi.

Jadi kembali ke pertanyaan awal, dengan pertimbangan bisnis dan etis, perusahaan wajib memberi benefit prinsip untuk karyawan. Mau cuma syarat kaya perusahaan saya sekarang atau ikhtiar untuk kebaikan karyawan, itu dikembalikan ke komandan masing-masing.

Sesudah benefit terpenuhi, tidak kalah penting adalah mental karyawannya. Benefit bukan berarti kita jadi ambil untung, maunya semua ditanggung. Lah situ yang berbuat siti yang nanggung dong.

Omong-omong, saya belum urus daftar BPJS nih. Ke HRD dulu aaaah...




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya