Kalau dokter bicara korupsi
Korupsi sedang tenar.
Teman, keluarga, wartawan, kolega, pegawai negeri, semuanya senang bicara mengenai perilaku korup yang mengurat-akar di negeri ini. Terus kalo yang bicara seorang dokter gimana ya?
Akhir pekan lalu saya menemani Ibu kontrol kesehatan di Siloam Hospital Kebon Jeruk. Ia konsultasi dengan dokter internis yang teratur mengikuti rekam jejak penyakit Ibu. Pertemuan antara dokter dan Ibu ini ajaib juga. Berawal tanpa perkenalan karena Ibu saya masuk rumah sakit dalam kondisi koma, namun berakhir seperti kawan baik yang tahunan berteman.
Contohnya ini. Selama pemeriksaan, dokter pasti cerewet betul bertanya apa kegiatan Ibu, frekuensinya berapa lama, lalu menutup dengan pesan bersayap seperti, "Ibu jalan-jalannya ditambah ya. Nanti masuk rumah sakit lagi lho,"
Tentu saja Ibu nggak mau kalah. Dia berkilah tengah menyiapkan pembuatan buku kerajinan tangan. Sampai disini saya nimpalin, "eh dokter kan juga ada naskah. Lanjutin dong dok,"
Kayaknya saya neken tombol si dokter.
Dengan tersenyum tapi mata menatap kosong, dia akui kurang bisa manajemen waktu menyelesaikan naskah bukunya yang pernah ia kirim ke saya. Dokter lalu menyimpulkan bahwa orang yang teratur menulis kelak akan menjadi orang hebat. Nah, berawal dari sini mulai lah ia bercerita ikhwal kenapa orang Indonesia nggak bisa maju, bisanya plagiat, ujungnya memupuk budaya korup.
Si dokter sempat menjadi kepala pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Saya lupa bertanya dimana, tapi dugaan saya di Kalimantan jika merunut cerita terdahulu. Dengan mata kepala sendiri ia melihat peraturan pemerintah dibuat untuk mendorong seseorang berbuat curang.
Misalkan pengadaan barang. Dalam petunjuk pelaksanaan, harga minimal yang ditetapkan sudah dinaikkan 150 persen dari harga riil. Jadi jika kertas HVS 70 gram harga riil 40 ribu Rupiah, maka pemerintah akan memberi anggaran sekitar 150 ribu Rupiah.
"Kita jadi orang bener aja udah untung banyak," kata si dokter.
Peraturan ini dibuat melembaga, dari atas terus sampai bawah. Nggak heran perkara rasuah ini ruwet, kusut masai.
Dokter yang terlihat betul eneg dengan kelicikan model begitu, sepertinya memilih hengkang dan berada di rumah sakit swasta yang terang komersial. Bagi dia lebih baik melayani kaum yang memang bisa bayar daripada rakyat tak berada yang tidak mengerti bahwa hak-nya telah ditelikung demikian banyaknya.
Nada si dokter semakin semangat, sampai ada suster masuk tidak dihiraukan. Si suster semakin heran mendengar omongan dokter ini jauh sekali dari diagnosa penyakit atau resep. Makin seru saya pelototin, kakak saya yang tidak kebagian duduk antara pegel tapi tetep nimbrung.
Dengan suara -camkan hal ini- menurut dokter korupsi seharusnya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Analoginya, biaya vaksin untuk balita yang sekian miliar Rupiah, eh disunat hingga ratusan juta Rupiah. Otomatis jatah ampul vaksin ada yang hilang. Efek berikutnya balita yang tidak divaksin sakit-sakitan tambah gizi buruk, berakhir wafat.
"Kita kehilangan anggota keluarga sudah seperti apa rasanya, nah, coba dengan korupsi itu, berapa keluarga yang menanggung deritanya. Koruptor harus dihukum mati," lanjut si dokter.
Seandainya telepon dokter nggak bunyi, pembicaraan bisa lanjut sampai sore. Kami berjabat tangan, dokter mengantar sampai keluar pintu. Betapa akurnya.
Entah kebeneran atau tidak, Harian Kompas edisi Senin, 4 November 2013 menurunkan headlines "Tangisan balita kelaparan menabrak tembok".
Balita yang dimaksud berada di area provinsi Banten. Dengan mengambil kasus tiga balita yang kondisinya kurang gizi, kelaparan, busung lapar, cerita mengalir dengan taburan detail yang membuat diri terisak.
Banten yang gubernurnya sudah lama menjadi sorotan itu, tega membiarkan putra daerahnya terbunuh pelan-pelan. Dibalik kerudung embossed Hermes, sepatu ankle boots merek sama, turun dari mobil sedan hitam mengkilap, nggak ketinggalan wajah bengep khas Haji Jeje, masih bisa senyum-senyum sementara 500 meter dari rumah adik si gubernur (ini masih saudara deket bener kan) balita yang dimaksud tengah sekarat.
Deeem, kata si dokter bener banget! Saya setuju pisan lah kalo penggiat rasuah ini kudu lenyap dari muka bumi. Sebelum eikye dituduh melanggar hak asasi manusia, helow, si koruptor lebih dulu melanggar hak asasi banyak manusia.
Ah, korupsi memang trending topic. Setelah persepsi dokter, boleh lah ya kita nanya tentara, hehee..
Teman, keluarga, wartawan, kolega, pegawai negeri, semuanya senang bicara mengenai perilaku korup yang mengurat-akar di negeri ini. Terus kalo yang bicara seorang dokter gimana ya?
Akhir pekan lalu saya menemani Ibu kontrol kesehatan di Siloam Hospital Kebon Jeruk. Ia konsultasi dengan dokter internis yang teratur mengikuti rekam jejak penyakit Ibu. Pertemuan antara dokter dan Ibu ini ajaib juga. Berawal tanpa perkenalan karena Ibu saya masuk rumah sakit dalam kondisi koma, namun berakhir seperti kawan baik yang tahunan berteman.
Contohnya ini. Selama pemeriksaan, dokter pasti cerewet betul bertanya apa kegiatan Ibu, frekuensinya berapa lama, lalu menutup dengan pesan bersayap seperti, "Ibu jalan-jalannya ditambah ya. Nanti masuk rumah sakit lagi lho,"
Tentu saja Ibu nggak mau kalah. Dia berkilah tengah menyiapkan pembuatan buku kerajinan tangan. Sampai disini saya nimpalin, "eh dokter kan juga ada naskah. Lanjutin dong dok,"
Kayaknya saya neken tombol si dokter.
Dengan tersenyum tapi mata menatap kosong, dia akui kurang bisa manajemen waktu menyelesaikan naskah bukunya yang pernah ia kirim ke saya. Dokter lalu menyimpulkan bahwa orang yang teratur menulis kelak akan menjadi orang hebat. Nah, berawal dari sini mulai lah ia bercerita ikhwal kenapa orang Indonesia nggak bisa maju, bisanya plagiat, ujungnya memupuk budaya korup.
Si dokter sempat menjadi kepala pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Saya lupa bertanya dimana, tapi dugaan saya di Kalimantan jika merunut cerita terdahulu. Dengan mata kepala sendiri ia melihat peraturan pemerintah dibuat untuk mendorong seseorang berbuat curang.
Misalkan pengadaan barang. Dalam petunjuk pelaksanaan, harga minimal yang ditetapkan sudah dinaikkan 150 persen dari harga riil. Jadi jika kertas HVS 70 gram harga riil 40 ribu Rupiah, maka pemerintah akan memberi anggaran sekitar 150 ribu Rupiah.
"Kita jadi orang bener aja udah untung banyak," kata si dokter.
Peraturan ini dibuat melembaga, dari atas terus sampai bawah. Nggak heran perkara rasuah ini ruwet, kusut masai.
Dokter yang terlihat betul eneg dengan kelicikan model begitu, sepertinya memilih hengkang dan berada di rumah sakit swasta yang terang komersial. Bagi dia lebih baik melayani kaum yang memang bisa bayar daripada rakyat tak berada yang tidak mengerti bahwa hak-nya telah ditelikung demikian banyaknya.
Nada si dokter semakin semangat, sampai ada suster masuk tidak dihiraukan. Si suster semakin heran mendengar omongan dokter ini jauh sekali dari diagnosa penyakit atau resep. Makin seru saya pelototin, kakak saya yang tidak kebagian duduk antara pegel tapi tetep nimbrung.
Dengan suara -camkan hal ini- menurut dokter korupsi seharusnya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Analoginya, biaya vaksin untuk balita yang sekian miliar Rupiah, eh disunat hingga ratusan juta Rupiah. Otomatis jatah ampul vaksin ada yang hilang. Efek berikutnya balita yang tidak divaksin sakit-sakitan tambah gizi buruk, berakhir wafat.
"Kita kehilangan anggota keluarga sudah seperti apa rasanya, nah, coba dengan korupsi itu, berapa keluarga yang menanggung deritanya. Koruptor harus dihukum mati," lanjut si dokter.
Seandainya telepon dokter nggak bunyi, pembicaraan bisa lanjut sampai sore. Kami berjabat tangan, dokter mengantar sampai keluar pintu. Betapa akurnya.
Entah kebeneran atau tidak, Harian Kompas edisi Senin, 4 November 2013 menurunkan headlines "Tangisan balita kelaparan menabrak tembok".
Balita yang dimaksud berada di area provinsi Banten. Dengan mengambil kasus tiga balita yang kondisinya kurang gizi, kelaparan, busung lapar, cerita mengalir dengan taburan detail yang membuat diri terisak.
Banten yang gubernurnya sudah lama menjadi sorotan itu, tega membiarkan putra daerahnya terbunuh pelan-pelan. Dibalik kerudung embossed Hermes, sepatu ankle boots merek sama, turun dari mobil sedan hitam mengkilap, nggak ketinggalan wajah bengep khas Haji Jeje, masih bisa senyum-senyum sementara 500 meter dari rumah adik si gubernur (ini masih saudara deket bener kan) balita yang dimaksud tengah sekarat.
Deeem, kata si dokter bener banget! Saya setuju pisan lah kalo penggiat rasuah ini kudu lenyap dari muka bumi. Sebelum eikye dituduh melanggar hak asasi manusia, helow, si koruptor lebih dulu melanggar hak asasi banyak manusia.
Ah, korupsi memang trending topic. Setelah persepsi dokter, boleh lah ya kita nanya tentara, hehee..

Komentar
Posting Komentar