Be a Good One
Saya amat terkesan dengan kutipan yang terluncur dari mantan Presiden AS,
Abraham Lincoln. Pendek kata ia berpesan jadilah "baik" dalam setiap fase kehidupan yang tengah
kita lakoni.
Saya terjun ke dunia kerja sejak awal 2009.
Dengan latar belakang pendidikan jurnalisme, idealnya saya bekerja sebagai
wartawan. Dan itu yang saya lakukan dalam dua dari tiga tahun masa kerja.
Tiga bulan pertama saya menjadi freelance untuk analisis media massa,
lima bulan berikutnya menjadi reporter majalah travel. Sempat mengangggur empat
bulan, saya diterima sebagai reporter gaya hidup di media online dan bertahan
hingga satu tahun lima bulan.
Karier sebagai wartawan berakhir saat pindah ke salah satu media nasional yang saya impikan
sejak kuliah. Tidak sampai enam bulan saya bekerja disana. Jika benar media ini
adalah impian, mengapa lantas saya lepaskan begitu saja?
Alasan yang sering saya kemukakan, karena
fisik saya tidak kuat. Bulan kelima mendadak saya pingsan dan dilarikan ke
rumah sakit. Rupanya usus buntu telah meradang dan harus dilakukan operasi.
Pikiran saya kalut untuk mengganti biaya operasi sekaligus enggan bekerja
menjadi wartawan lagi.
Untuk alasan materi semata, saya pindah
bekerja ke perusahaan multinasional. Dengan gaji dua kali lipat dibanding
menjadi wartawan, saya bisa membayar hutang, hidup cukup, konstan dalam
manajemen waktu. Sudah setahun hingga sekarang saya bekerja di korporasi ini.
Apa
berarti saya betah? tidak juga. Saya jelas tidak cocok dengan budaya korporasi,
hati saya masih terpaut pada suasana media yang santai dan dinamis. Di tengah keinginan besar untuk mengundurkan
diri, hati saya membisikkan kutipan tadi, 'apa selama ini kamu sudah jadi the good one?'.
Saya terperangah.
Benar juga, jika benar saya mengundurkan diri (lagi), tengoklah masa kerja saya yang tidak pernah
lebih dari dua tahun. Saya selalu berpindah tanpa arah, dan lebih parah lagi,
tanpa mencoba menjadi the good one dalam
setiap kesempatan.
Alih-alih, saya selalu menemukan alasan untuk
pindah kerja dari satu tempat ke tempat lain. Entah karena tidak sesuai dengan
atasannya, tidak puas dengan status kepegawaiannya, tidak kuat dengan tekanannya,
merasa bukan minatnya, dan sebab
lain-lain.
Bekerja jadi wartawan atau orang kantoran, atasan mengesalkan ada saja,
labelnya saja lain, redaktur atau manajer. Rekan kerja yang memanfaatkan
situasi, drama queen, juga tak
terhindarkan.Tinggal bagaimana menjadikan
ini semua pecut untuk menjadi the good
one, atau menghabiskan waktu dengan resign,
berharap mendapat tempat yang sesuai keinginan, dan tidak mempelajari apa-apa.
Kini saya paham kenapa Abraham Lincoln lebih memilih frasa “good”, bukan “excelent” atau “outstanding”.
Karena ia pun paham, bahwa menjadi baik dalam setiap fase kehidupan amat tidak
mudah. Tidak perlu mengejar kesempurnaan atau luar biasa, dengan baik pun sudah
menjadi alarm bagi diri sendiri untuk selalu berbuat yang terbaik yang kita
bisa.
Saat ini mungkin kita belum
menemukan pekerjaan sesuai minat, tapi yakinlah bahwa jika kita berusaha sebaik
mungkin mengerjakannya, ini adalah awal untuk mengantarkan kita pada pekerjaan
idaman. Bisa jadi pendapatan kita belum sesuai. Toh jika kita fokus
menyelesaikan pekerjaan dengan baik, seiring waktu keahlian kita semakin bertambah
dan terasah.
Bagaimana dengan konflik dengan atasan atau rekan kerja? Berusaha menyikapi
dengan baik hati, pikiran dan bicara, akan menjadikan kita manajer yang handal
dalam menangani emosi. Satu atau dua tahun dari sekarang, orang akan menilai
kita sebagai expertise.
Sekarang saya belum punya bayangan pasti mengenai karier dalam lima
tahun mendatang, tapi yang pasti saya bertekad menjadi the good one dalam
setiap situasi.

Komentar
Posting Komentar