Sejam Bersama Sejarah

Tau apa kamu soal Jenderal AH Nasution?

"Uhmm..."

Gumaman khas mikir -padahal nggak tau- pasti jawaban pertama saya. Ingatan saya hanya berputar pada film Pemberontakan G30 S/PKI (bener nggak nih nulisnya) yang satu tahun sekali ditayangkan di semua saluran TV. 

Malam 30 September semua tegang menonton. Belakangan heran juga tidak ada panduan semacam "parental advisory" atau "dewasa" pada film tersebut. Padahal saat itu usia saya masih 8 tahun. Usia yang terbilang tidak boleh bukan melihat adegan penembakan berdarah-darah pasukan Tjakrabirawa?

Tapi begitulah. Memori pasukan menggerebek rumah jenderal-jenderal yang kebanyakan memakai piyama plus satu anak kecil tertembak masih melekat. Adegan ini menggenaskan sekali. Seorang wanita menggendong anak kecil berlumuran darah.

Siang ini saya akhiri ketidaktahuan soal siapa itu jenderal AH Nasution, dengan berkunjung ke rumahnya yang dijadikan museum.

Bersama teman akur, kami girang menembus kawasan Menteng dengan riuhnya mesin bajaj. Melewati jalan Cendana yang tampak sepi dan tidak sakral lagi, bajaj berbelok kiri dengan tajam...luruuuuus dan berhenti tepat depan museum. 

Aha! tukang bajaj ini memang jagoan menteng.

Museum sepi nyinyit, bahkan gerbangnya tutup. Karena teman sekilas melihat ada manusia, kami melakukan gerakan-gerakan cari perhatian. Benar saja, keluar pemuda berkaos putih, celana jeans biru muda. Kenapa bukan tentara yang jaga? siapa dia? tukang sapu?

"mas, museum tutup ya? bukannya senin?"

"emang mau masuk mbak?"

"iyalah"...tanpa banyak tanya si mas ini menghampiri dan membuka gerbang. Semudah itu ternyata.

Rumahnya besar, dengan daun pintu dan jendela tinggi khas rumah kuno. Alas kaki harus dilepas, isi buku tamu seadanya dan silahkan menjelajah.

Ruang depan menjadi semacam lobi. Beragam penghargaan, patung setengah badan si jenderal, panji kebesaran, ada disini.

Berikutnya sebelah kiri ada ruang tamu. Keterangannya "tempat pak Nas menerima tamu resmi". Komentar saya adalah si ibu Nas punya selera apik menata rumah. Setelah browsing baru saya paham ruang itu dinamakan ruang kuning karena interiornya warna kuning semua. Halah..

Sebelah kanan meja kerja, kaget nomer satu, karena ada patung pak Nas tengah mengetik di situ. Teman saya kaget duluan karena dia mengintip dari ruang depan.

Rumah ini selasarnya berkelok, setiap belokan menyimpan kejutan. Ditambah pintu ruangan ditutup. Kita menyambut kejutan itu sendiri dengan membuka pintu. Kacau balau deh kalo yang masuk jantungan.

Rupanya museum ini berusaha rekonstruksi ulang malam kelam 30 September 1965. Sebelah ruang kerja adalah kamar utama pak Nas. Di selasar yang cukup untuk dua orang, sisi dekat tembok kamar terisi patung pasukan Tjakrabirawa yang merangsek masuk. Jumlahnya empat orang dengan aneka ria wajah. Ada yang kumisnya baplang, ada yang mulutnya terbuka lebar, ada yang alisnya mengerenyit tegang mengawasi pintu masuk. 

Dalam kamar patung pak Nas berdiri dengan posisi tangan menyerah. Di belakangnya ada pintu lagi, dan aaaargh! Kaget nomer dua!

Ada kepala nongol di balik tembok! ternyata setelah di teliti itu gambaran pak Nas yang manjat tembok tetangga untuk melarikan diri. Ih, ini museum bikin stress deh.

Kamar berikutnya adalah kamar adik ipar pak Nas. Dalam ruangan ini tersimpan seragam militer pak Nas dan benda milik anaknya tersayang, Ade Irma Suryani. Si kecil ini yang tertinggal di memori saya dalam film, tewas pada usia 5 tahun, dikatakan sebagai "tameng ayahnya". 

Depan kamar tersebut adalah ruang makan. Meja makan persegi panjang dengan deretan kursi setidaknya muat untuk 12 orang. Lagi-lagi deretan pasukan Tjakrabirawa dengan senjata mengarah pada satu titik di seberangnya.

Titik itu adalah Johanna, istri pak Nas. Menggunakan gaun tidur panjang berwarna putih, rambut ikalnya tergelung asal dan replikanya berusaha mewakili garis cantik Johanna asli. Rautnya tersenyum tipis, padahal ia menggendong Ade Irma yang mungkin sudah tewas.

Pakaian putihnya bersimbah darah hingga menetes ke lantai. Saya jajal berdiri di sebelahnya. Rasanya ngeri saat nyawa terancam. Lima moncong senjata mengarah dan siap memberondong tubuh saya. Tapi sejarah menceritakan Johanna menghadapi tentara-tentara itu tanpa khawatir kematian.

Lalu saya menyebrang ke sebelah pasukan. Tinggi mereka saya taksir 165 senti. Dengan jumlah banyak rasanya jumawa, apalagi bawa senjata. Tapi saat melihat musuhnya adalah Johanna? saya tegang. Ini jelas bukan perang yang jantan.

Ruangan berikutnya adalah dapur dan beberapa ruang kosong. Halaman belakang luas, terdapat juga mobil dinas pak Nas, Volvo hitam mengkilat.

Keluar rumah utama, tujuan berikutnya rumah ajudan. Sayang kami cuma bisa mengintip, diorama penggerebekan penjaga dan ajudan utama pak Nas, Kapten Pierre Tendean. Ajudan pak Nas yang setia ini mengaku sebagai majikannya. Akhirnya ia dieksekusi. Sungguh bodoh pasukan Tjakrabirawa ini saya pikir. Masa menculik tapi nggak tahu muka targetnya sih? 

Berkeliling kami akhiri dengan rekonstruksi asal. Kamar utama ternyata memiliki dua pintu penghubung. Satu menyambung ke kamar adik Johanna, satu lagi mengarah ke pekarangan belakang. Pintu terakhir ini yang menyelamatkan pak Nas dengan cara memanjat tembok pembatas rumah tetangga. Ternyata si tetangga adalah rumah Duta Besar Irak.  

Sampai saat ini tetangga pak Nas masih kediaman resmi Duta Besar Irak.

Saya dan teman kembali ke kantor dengan sejuta cerita di otak. Bertekad mencari lebih jauh soal pak Nas dan menuangkannya dalam tulisan tentunya. Hasil perburuan dunia maya menyebutkan pak Nas meninggal tahun 2000 dan museum ini diresmikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono pada 2008.

Kondisi museum pak Nas ini menurut saya sangat terawat, malah homey. Seperti Pak Nas sekeluarga masih disana, dan kami datang berkunjung untuk minum teh sambil mendengar Pak Nas bercerita.

Mungkin karena rumah ini baru ditinggalkan pada 2008, keluarga pak Nas pindah entah ke mana. Dengan still yakin museum ini tidak memungut bayaran, hanya meletakkan kotak sumbangan pemeliharaan.

Lalu siapa pemelihara utamanya? 

Penjaga museum mengatakan dana pemeliharaan berasal dari Angkatan Darat setiap bulan. Ooooh...Oooooh....

Matahari sedang sempurna bersinar saat kami keluar museum.

Dari luar rumah itu tegak tapi muram. Seperti orang tua yang diabaikan, mereka juga ingin bercerita. Saya bayangkan persona seperti Pak Nas pasti sesak melihat bangsa yang dulu ia perjuangkan dengan nyawa -bahkan nyawa anaknya- kini melupakannya. 
 
Pembangunan semwrawut, makanya dulu ia mencetuskan ide Dwifungsi ABRI. Sebagai bentuk kekecewaannya pada orang-orang sipil yang tidak mengerti nilai perjuangan. Bukannya ia benar, toh pak Nas tetap ditenggelamkan oleh orang yang telah ia besarkan.
 
Pesan pak Nas ada di brosur, kurang lebih,

 "Jujur, tunaikan sholat, amanah dalam bekerja,"  



Komentar

  1. Pak Naaaassss..I do
    Mari kita cari museum lain buat dikunjungi, ye ye ye..psst..jangan pas bulan puasa rentu saja :D

    BalasHapus
  2. Ih kok ekye ngak tau sih ada komen inih. Yuk mariiiy, itu loh Sasmita Loka :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya