Kucing dan Ibu


Suatu malam, saya membuka pintu kamar ibu..dan melihat ia tertidur memeluk boneka kucing putih bersih.

Hati tersayat miris. Mengapa ibu melakukan hal itu?

Saya ingat beberapa pekan lalu beliau bercerita menemukan boneka kucing putih ini saat membongkar isi lemarinya. Lemari jati tua itu sudah ada sejak saya belum lahir -saat ini usia saya sudah 27- tingginya mencapai dua meter, berpintu tiga, laci tiga, plus lemari tambahan di atasnya.

Wajar saja satu boneka imut bisa keselip bertahun-tahun sampai terlupakan.

Tidak sulit menemukan jawaban tindak janggalnya itu. Ibu saya pecinta binatang, khususnya kucing. Walau saya tidak ingat jaman orok, foto-foto tertanggal dua bulan sesudah kelahiran saya disampingnya sudah ada kucing. Umur delapan bulan, di foto menarik buntut kucing, foto lain mengintip kucing, usia taman kanak-kanak, ibu dikerebuti 13 kucing menunggu jatah makan.

Pengaruh perkucingan ini menurun. Saya juga gemar kucing. Paling tidak tiga kucing selalu dipelihara sekalipun rumah berpindah-pindah. Keadilan yang diterapkan ibu pada saya dan kucing setara. Dalam arti kalau tidak menurut, siap-siap menerima pukulan. Toh ibu tetap memberi kami makan.

Kucing-kucing ini meninggalkan sejarah bagi kami. Ending, kucing kuning bermotif marmer itu galak ngeselin. Dia cuma menurut pada ibu saya, anggota keluarga lain habis dicakar. Tapi kami mengaku dia karismatik dengan kesombongannya. Karena itu sebagai penghromatan, kucing kuning berikutnya dinamai Ending juga.

Kanyuk, kucing campuran persia-kampung berwarna cokelat keabuan. Kucing ini bulunya pendek tapi halus. Khusus ekornya, berbulu panjang khas kucing persi. Dia enerjik, merepotkan saya jika musim kawin. Mencakar-cakar pintu supaya bisa keluar rumah dan berburu betina, esok paginya dia pulang dan tertidur seharian. 

Kanyuk menjadi teman tidur ibu hingga lima tahun. Suatu hari kondisi kesehatannya merosot karena penyakit ginjal, dia menolak makan dan matanya buta. Sambil terseok, menabrak tembok, beringsut ke keranjang pembaringannya dan mati disana. 

Suatu hari beberapa bulan setelah kematian Kanyuk, saya tengah berjalan dan tertarik dengan sosok kucing kecil ini. Polahnya nakal, setelah buang air dia loncat-loncat. Saya dekati, dia diam. Akhirnya saya gendong pulang bersama saya.

Melihat coraknya yang marmer berwarna kuning-oranye, bulunya yang panjang hanya di ekor, tidak salah lagi, ini pasti anak Kanyuk. Sejak saat itu kucing kecil ini kami pelihara dan dinamakan, Ending.

Secara pribadi Ending yang ini adalah kucing favorit saya. Tubuhnya besar bak kucing kampung, kelakuannya juga bandel, nggak males kaya kucing persi. Tapi dia setia..setelah hilang tiga hari dia bisa kembali ke rumah.

Saat saya naik kelas 3 SMA dan tengah di berondong dengan persiapan ujian akhir nasional, Ending setia menemani saya belajar hingga dini hari. Pernah suatu malam saking banyaknya buku yang harus dibaca, saya melantai di kamar. Dari pintu kamar yang terbuka, Ending melangkah mendekati dan berbaring di hadapan saya. Tidak ada suara. Apa perlunya juga, kalau kehadiran nyata mewakili berjuta kata.

Hingga ibu saya mengabarkan, Ending menghilang setelah sebelumnya seorang laki-laki tertangkap tangan menyergapnya. Sekali ketahuan, tapi kali kedua saya tidak beruntung. Bulu keemasan Ending menyilaukan penjahat untuk mengincar lagi..Saya berpisah tanpa ada perpisahan itu sendiri.

Setelah ending, dua kucing persia di pelihara, tapi saya tidak berminat. Tipe ini malas, maunya makan-tidur, sangat tidak menantang. Bulunya nempel kemana-mana, paling banter saya toyor kepalanya, atau saya dorong-dorong supaya berjalan.

Toh ibu tetap menyayangi kucing-kucing ini.. 

23 tahun terakhir saya masih bersama dengan kucing-kucing di rumah. Tapi roda hidup berputar arah. Ada kalanya apa yang dimiliki terlepas, menghancurkan pondasi yang disebut bahagia untuk ibu. 

Kini ibu tidak bisa memelihara kucing lagi. Tidurnya sepi tanpa napas lain di sisi tempat tidurnya yang terlalu besar. Ia diam-diam masih membeli ikan asin untuk dibagikan pada kucing jalanan.

Jika hanya ada saya dan ibu, ia akan suka cita mengelus kucing yang lewat dimana saja. Tentu saya biarkan. Apalah keinginan yang begitu sederhana untuk merasa tenang dengan lapisan bulu yang mendengkur menenangkan, tentu saya biarkan.

Saya masih tak mengerti akan konsep mencintai harus kehilangan, kebahagiaan harus merasakan kesedihan, memiliki harus siap berpisah dan seterusnya. Yang saya paham ibu kehilangan, sedih dengan kebahagiaannya saat memelihara kucing.

Maka saya paham boneka kucing putih itu adalah sebentuk kecil miliknya yang pernah hilang, ia berusaha mendapatkannya kembali.











 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya