Klasik Karena Masa Depan

@ pocongg : mau teman lama atau teman baru, ujungnya sama, bakal pisah juga..

Bahkan dalam satu buku yang intinya meluapkan kelucuan tak beralasan, ada sepenggal kata yang serius menanggapi kisah pertemanan. Pada saatnya menjadi sebuah kisah klasik.

Akhir pekan lalu saya kembali ke kamar kost terakhir, sebelum saya tak sadarkan diri dan mengakhiri kisah lima tahun hidup dalam kemandirian absolut. Teman sebelah kamar telah lulus kuliah, dan ia akan pulang ke Bandung, daerah asalnya.

Perpisahan sederhana, diisi makan malam, mengobrol, sambil sesekali memaki panggung dangdut depan kost kami yang ribut hingga lewat tengah malam.

Kost terakhir saya terdiri dari enam kamar berderet. Berada di kawasan Lenteng Agung, tidak jauh dari kampus saya. Dikukuhkan sebagai kost khusus perempuan, kami selalu geli jika melihat tulisan "pria dilarang masuk kamar" di teras. Nggak cuma satu, tapi di setiap sisi jendela dipasang pengumuman serupa..walhasil, setiap laki-laki harus puas bertamu sampai di teras.

Dengan sewa per bulan 500 ribu Rupiah, kamar kost ini termasuk mahal untuk mahasiswa. Jadilah yang tinggal saya, satu orang asal Papua, satu orang asal Bandung, satu orang asal Bojonegoro. Selain saya yang sudah bekerja, semuanya masih kuliah, dan mendapat anggaran ekstra untuk menempati kamar kost yang lebih nyaman.

Nggak nyangka, pertengahan 2011 saya pindah duluan dari kost-kostan itu. Menyusul teman Bojonegoro, terakhir teman Bandung ini. Kebetulan saya paling dekat dengan teman Bandung, karena usia kami hanya selisih satu tahun, kalo yang lain selisih sampai lima tahun. Berasa amat berwibawa...

Malam itu..teman saya mengatakan, biasanya dia jarang bersedih. Kalaupun sedih karena berpisah, biasanya rasa itu datang saat perpisahan terjadi. Tapi ini lain, seminggu sebelum dia pindah, rasa gundah mulai merangkak dan membuat teman saya meringis tak jelas.

Setiap meringis, dia melihat sekeliling, saya ikuti pandangannya. Kamar itu dulu penuh buku, rak piring, printer, galon air..sekarang lenyap. Apa yang tersisa hanya kasur dan beberapa pakaian. Rasa itu menyakitkan, saya tahu persis rasanya, sekian bulan yang lalu, rasanya tak rela setiap barang berpindah untuk diangkut.

Teman saya berniat mencari pekerjaan di Jakarta, tapi urung karena keluarga tak mendukung. Segala impiannya untuk menjajal biro iklan bergengsi di ibukota, tersimpan sejenak.

Saya selalu kagum dengan karakternya yang unik. Dia menularkan kebiasaan untuk mengupas iklan di media, baik on atau off air.  Dia berkomentar jika talent yang digunakan aktor lawas, Deddy Mizwar, "dia itu membosankan. Mau iklannya apa, perannya tetap sama, sosok bijak." 

Atau jika ada iklan Dancow, "kasian ya anak kecilnya, harus hapalin narasi sepanjang itu," ini merujuk pada iklan Dancow yang menceritakan proses pembuatan susu bubuk.

Saya jadi paham biro iklan Dentsu, Lowe, atau BBDO. Baik kamar kost atau kamar di rumah Bandung, selalu ada sentuhan 'tak terpikirkan'. Misalnya tagline :

"you can't buy happiness, but you can buy a cupcake..it also a same thing"

Atau buku notes yang ia buat sendiri. sampulnya dari disket kuno segi empat. Setiap lembaran ditempel apa saja yang ia mau, tutup botol coca cola, perangko, tiket bioskop, dan herannya, malah jadi keren!

Diam-diam, teman saya gemar merajut, dia punya koleksi topi, syal, atau sweater yang ia buat sendiri. Kebiasaan saya menempel tiket bioskop, terinspirasi dari dia juga, yang punya satu sisi di dinding kamarnya, penuh dengan tiket.

Kini, saya perlu usaha ekstra untuk bertemu dengannya. Lihat saja, dalam hitungan bulan, kesibukan akan membuat gelak tawa kami menjadi cerita lampau. 

Tidak, saya tidak paham dengan arti perpisahan..Ahad sore yang gelap, kami sama-sama enggan beranjak. Hujan makin deras, tumpah ruah setelah dua hari terik.

pesan masuk, 14.45 : "gue sediih deeeeh"

Gue juga teman ... 




 



 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya