Yogya Never Die
Selalu ada yang baru dari Yogyakarta..
Seperti pekan lalu saya kembali menginjakkan kaki disana, dan segera paham, kota ini bergeliat..agak ke arah modernisasi yang tergencet budaya, tak karuan, tapi tetap asyik.
Dimulai dengan tambahan opsi wisata.
Biasanya saya semangat kembali ke museum Ullen Sentalu yang terletak di Kaliurang. Ini daerah kaki gunung Merapi yang sejuk serta bertebaran banyak vila. Mulanya sih nggak perhatian juga sama papan nama penginapan atau vila tadi, tapi teman seperjalanan menggaris bawahi pada "fasilitas" yang dipajang.
Selalu ada "TV" dan "kamar mandi dalam"... hehehe...
Nggak dimana deh, daerah dingin dikit, langsung bisnis lendir menjamur...(bahasanya lampu ijo banget).
Tapi bukan bisnis "itu" yang nambah opsi wisata. Turun sedikit sebelum gerbang Kaliurang, mampirlah ke desa Kinahrejo. Yeps, secara asal tur ini dinamakan "wisata bencana". Kinahrejo mendadak terkenal setelah gunung Merapi memuntahkan sepersekian isinya 2010 silam, dan membumi hanguskan apa saja yang dilewati, termasuk desa malang ini.
Mulanya saya dan kawan ragu, "etis ngak sih orang berduka kita jadiin objek wisata?"
Yaa nggak lama-lama terjawab juga. Setelah melewati sajian pertama berupa jembatan meliuk tajam-di bawahnya kali arus deras berbatu-tanpa pagar pembatas itu, 50 meter sesudahnya, ada laki-laki meminta sumbangan dengan menyodorkan kardus bekas air mineral.
Kami tabah menolak halus.
100 meter kemudian...ada pungutan lagi! Tapi ini resmi sodara-sodara, minimal petugas kompakan pakai seragam kuning dan ada tiket masuk sebesar tiga ribu rupiah per orang. Kami tidak merasa bersalah lagi deh. Toh penduduk desa sudah legowo dan menarik sisi baik setelah bencana..
Jalanan menanjak, kanan-kiri berdiri rumah penduduk atau dulunya rumah. Jika atapnya utuh, terlihat bekas abu menutup tipis genteng merah bata itu. Tumbuhan masih mini, ilalang gosong banyak terlihat di ladang kosong, dan gunung Merapi semakin jelas kokoh berdiri di depan.
Makin semangat naik, yak...pungutan lagi (Indonesia banget deh)...Kali ini judulnya "tiket parkir" sebesar lima ribu rupiah satu mobil. area kosong dijadikan lahan parkir, kami turun. Sampai sini, tidak heran juga kenapa desa Kinahrejo terhantam amukan Merapi. Jika beruntung seperti kami, gunung Merapi bisa terlihat jelas sampai ke puncak.
Ya iyalaaaaah, tiga kilometer ajah jaraknya dari puncak, hanya Tuhan dan Malaikat yang tahu bagaimana nasib Anda nekat tinggal sedekat ini dengan gunung terganjen sedunia macam Merapi.
Tapi memang kreasi Tuhan tidak bertepi. Beneran kereeeeen ngeliat Merapi dari deket. Batu kerucut yang puncaknya dikelilingi awan putih, berlatar langit biru bersih. Merapi juga berasap, seolah bernapas..auranya angkuh, tapi kalem dalam diamnya..
Semoga mbah Maridjan tenang dalam kesejukan Kinahrejo.
Selain wisata bencana, tidak ketinggalan wisata makan. Menurut saya, kuliner Yogya itu muter aja sekitar gudeg, pecel, angkringan, sama sajian coba-coba. Tapi yang menarik ada di pengemasan, cara menyajikan, atau nama yang serba nggak jelas.
Contohnya ini, restoran Raminten. Menurut teman, restoran ini dimiliki waria bernama Raminten. Lebih menarik di kunjungi malam, karena lampu dekorasi resto menyala ramai, tidak hanya di ruangan resto, tapi juga di tubuh pelayan!
How come??
Jadi pelayan di Raminten ini seragamnya berupa dasi kupu-kupu dan kain basahan, ajah. So, si pelayan laki ini melayani Anda sambil memamerkan tubuh atasnya. Nah, malam tiba, tubuh atasnya di lingkari lampu hias..sumpah, banci abis.
Kalau bukan karena janjian sama teman lama, saya emoh kesana. Siang bolong akhirnya kami sambangi Raminten. Teras resto dipenuhi kereta kuda, tanpa kudanya. Hiasannya seperti asal, entah ya apa saja yang di tempel, yang penting rame.
Saya agak lega begitu masuk si pelayan yang diceritakan setidaknya tengah memakai rompi putih berpadu kaus hitam ketat. Ada juga pelayan perempuan yang menggunakan dodot satin dan rambut konde cepol.
Tiba memesan makanan...
Karena kami duduk lesehan di meja panggung, pelayan perempuan menghampiri dan duduk di undakan panggung. Jadi si pelayan di bawah kami satu undakan dan asyik menulis pesanan sambil menyodorkan pundak-pundak mulusnya atau dengan kemayu menjawab setiap pertanyaan saya. Hadeeeeh...
Kacau lagi waktu ke toilet. Papan penunjuk arah mengarahkan kami ke....kandang kuda! saya disambut kuda cokelat besar sedang memamah biak. Disamping istal si kuda ada tulisan "beware of this horse/awas kuda ini galak". Nggak cuma satu kuda lho, tapi ada dua..tiga..empat..lima kuda...ahai! saya kegirangan.
Masalah intinya, ada dimana toilet tersebut? yak, nyelip di antara istal kuda pertama dan kedua, yang satu lagi ngumpet di antara istal ketiga dan keempat.
sambil nunggu teman ke toilet, saya colongan cari kuda yang bersahabat. Kuda di istal kedua dengan kalem membiarkan saya mengelus hidungnya. Keseluruhan istal membentuk huruf U dan ditengahnya menjadi tempat cuci piring.
Absurd se-absurd Raminten.
Akhirnya saya tahu Raminten adalah pemilik toko retail besar di Yogya, Mirota. Ibarat perusahaan multinasional, Mirota menjamur lintas sektor. Ada Mirota batik (jualan batik), Mirota Kampus (keperluan anak kuliahan), dan Mirota Bakery (aneka roti). Pasal doi waria, saudara saya yang Yogya indeed menyatakan dia sebenarnya cowo tulen, punya anak-istri. Cuma hobi dandan perempuan, entah untuk sensasi atau meresapi.
Unsur kebaruan juga muncul di bandara Adi Sutjipto. Rupanya bandara yang bersisian dengan pangkalan Angkatan Udara RI (AURI) ini telah berstatus Bandara internasional.
Berdasarkan pelajaran bandara Lombok, kalau mau naik kelas jadi Internasional, ada beberapa persyaratan. Misalnya kondisi landasan yang memungkinkan semua tipe pesawat mendarat. Kalau Airbus A380 yang maha besar itu, jelas butuh landasan nggak cuma 100 meter donk? Lalu area parkir pesawat juga perlu di perbanyak. Paling tidak delapan pesawat bisa menginap bersamaan.
Saya masuk ke area parkir bandara. Masih sama. Masuk pintu bandara..mulai terlihat perbedaannya.
Dulu pintu masuk ini belum ada, sekarang pintu masuk langsung menukik ke area basement. Kita bisa menuruni tangga berjalan, atau turunan manual dengan karpet karet di tengahnya. jalan mendatar sebentar, mulai menanjak....dan...sampai ke lobi bandara persis!
Rupanya pintu masuk bandara dimajukan supaya lebih mendekat ke stasiun kereta api yang mengarah ke Solo. Jadi bandara Adi sutjipto kini terintegrasi dengan moda kereta api. sip..sip.
Gimana kabar landasan? wah saya nggak ngitung panjang sebelum dan sesudah status internasional. Tapi yang jelas bandara ini sibuuuuk. Saya datang jam setengah 9 pagi untuk menjemput tante yang mendarat jam 9.20.
Selama 50 menit melototin di anjungan, tiga pesawat Garuda Indonesia mendarat dan lepas landas. Satu yang parkir malah pilotnya sempet-sempetnya ngerokok. Ditambah pesawat Batavia Air dan Air Asia mendarat, pesawat Wings Air dan dua pesawat AURI lepas landas, terakhir, datanglah pesawat Lion Air yang ditumpangi tante saya.
Tante saya cerita, jam 9 pagi pesawat sudah masuk zona udara Yogyakarta, tapi pesawat terus muter sambil nunggu jatah turun saking sibuknya itu landasan. Apakah ini dampak dari "internasionalisasi" bandara? mbuh yoo...
Menjemput tante berarti selesai juga perjalanan saya kali ini ke Yogya. Dibilang kurang, ya kurang, tapi lebih dari lima hari, pasti bingung sendiri.
Seperti slogannya, "Yogyakarta never ending Asia", saya tambahin "just end it before you get bored".
Seperti pekan lalu saya kembali menginjakkan kaki disana, dan segera paham, kota ini bergeliat..agak ke arah modernisasi yang tergencet budaya, tak karuan, tapi tetap asyik.
Dimulai dengan tambahan opsi wisata.
Biasanya saya semangat kembali ke museum Ullen Sentalu yang terletak di Kaliurang. Ini daerah kaki gunung Merapi yang sejuk serta bertebaran banyak vila. Mulanya sih nggak perhatian juga sama papan nama penginapan atau vila tadi, tapi teman seperjalanan menggaris bawahi pada "fasilitas" yang dipajang.
Selalu ada "TV" dan "kamar mandi dalam"... hehehe...
Nggak dimana deh, daerah dingin dikit, langsung bisnis lendir menjamur...(bahasanya lampu ijo banget).
Tapi bukan bisnis "itu" yang nambah opsi wisata. Turun sedikit sebelum gerbang Kaliurang, mampirlah ke desa Kinahrejo. Yeps, secara asal tur ini dinamakan "wisata bencana". Kinahrejo mendadak terkenal setelah gunung Merapi memuntahkan sepersekian isinya 2010 silam, dan membumi hanguskan apa saja yang dilewati, termasuk desa malang ini.
Mulanya saya dan kawan ragu, "etis ngak sih orang berduka kita jadiin objek wisata?"
Yaa nggak lama-lama terjawab juga. Setelah melewati sajian pertama berupa jembatan meliuk tajam-di bawahnya kali arus deras berbatu-tanpa pagar pembatas itu, 50 meter sesudahnya, ada laki-laki meminta sumbangan dengan menyodorkan kardus bekas air mineral.
Kami tabah menolak halus.
100 meter kemudian...ada pungutan lagi! Tapi ini resmi sodara-sodara, minimal petugas kompakan pakai seragam kuning dan ada tiket masuk sebesar tiga ribu rupiah per orang. Kami tidak merasa bersalah lagi deh. Toh penduduk desa sudah legowo dan menarik sisi baik setelah bencana..
Jalanan menanjak, kanan-kiri berdiri rumah penduduk atau dulunya rumah. Jika atapnya utuh, terlihat bekas abu menutup tipis genteng merah bata itu. Tumbuhan masih mini, ilalang gosong banyak terlihat di ladang kosong, dan gunung Merapi semakin jelas kokoh berdiri di depan.
Makin semangat naik, yak...pungutan lagi (Indonesia banget deh)...Kali ini judulnya "tiket parkir" sebesar lima ribu rupiah satu mobil. area kosong dijadikan lahan parkir, kami turun. Sampai sini, tidak heran juga kenapa desa Kinahrejo terhantam amukan Merapi. Jika beruntung seperti kami, gunung Merapi bisa terlihat jelas sampai ke puncak.
Ya iyalaaaaah, tiga kilometer ajah jaraknya dari puncak, hanya Tuhan dan Malaikat yang tahu bagaimana nasib Anda nekat tinggal sedekat ini dengan gunung terganjen sedunia macam Merapi.
Tapi memang kreasi Tuhan tidak bertepi. Beneran kereeeeen ngeliat Merapi dari deket. Batu kerucut yang puncaknya dikelilingi awan putih, berlatar langit biru bersih. Merapi juga berasap, seolah bernapas..auranya angkuh, tapi kalem dalam diamnya..
Semoga mbah Maridjan tenang dalam kesejukan Kinahrejo.
Selain wisata bencana, tidak ketinggalan wisata makan. Menurut saya, kuliner Yogya itu muter aja sekitar gudeg, pecel, angkringan, sama sajian coba-coba. Tapi yang menarik ada di pengemasan, cara menyajikan, atau nama yang serba nggak jelas.
Contohnya ini, restoran Raminten. Menurut teman, restoran ini dimiliki waria bernama Raminten. Lebih menarik di kunjungi malam, karena lampu dekorasi resto menyala ramai, tidak hanya di ruangan resto, tapi juga di tubuh pelayan!
How come??
Jadi pelayan di Raminten ini seragamnya berupa dasi kupu-kupu dan kain basahan, ajah. So, si pelayan laki ini melayani Anda sambil memamerkan tubuh atasnya. Nah, malam tiba, tubuh atasnya di lingkari lampu hias..sumpah, banci abis.
Kalau bukan karena janjian sama teman lama, saya emoh kesana. Siang bolong akhirnya kami sambangi Raminten. Teras resto dipenuhi kereta kuda, tanpa kudanya. Hiasannya seperti asal, entah ya apa saja yang di tempel, yang penting rame.
Saya agak lega begitu masuk si pelayan yang diceritakan setidaknya tengah memakai rompi putih berpadu kaus hitam ketat. Ada juga pelayan perempuan yang menggunakan dodot satin dan rambut konde cepol.
Tiba memesan makanan...
Karena kami duduk lesehan di meja panggung, pelayan perempuan menghampiri dan duduk di undakan panggung. Jadi si pelayan di bawah kami satu undakan dan asyik menulis pesanan sambil menyodorkan pundak-pundak mulusnya atau dengan kemayu menjawab setiap pertanyaan saya. Hadeeeeh...
Kacau lagi waktu ke toilet. Papan penunjuk arah mengarahkan kami ke....kandang kuda! saya disambut kuda cokelat besar sedang memamah biak. Disamping istal si kuda ada tulisan "beware of this horse/awas kuda ini galak". Nggak cuma satu kuda lho, tapi ada dua..tiga..empat..lima kuda...ahai! saya kegirangan.
Masalah intinya, ada dimana toilet tersebut? yak, nyelip di antara istal kuda pertama dan kedua, yang satu lagi ngumpet di antara istal ketiga dan keempat.
sambil nunggu teman ke toilet, saya colongan cari kuda yang bersahabat. Kuda di istal kedua dengan kalem membiarkan saya mengelus hidungnya. Keseluruhan istal membentuk huruf U dan ditengahnya menjadi tempat cuci piring.
Absurd se-absurd Raminten.
Akhirnya saya tahu Raminten adalah pemilik toko retail besar di Yogya, Mirota. Ibarat perusahaan multinasional, Mirota menjamur lintas sektor. Ada Mirota batik (jualan batik), Mirota Kampus (keperluan anak kuliahan), dan Mirota Bakery (aneka roti). Pasal doi waria, saudara saya yang Yogya indeed menyatakan dia sebenarnya cowo tulen, punya anak-istri. Cuma hobi dandan perempuan, entah untuk sensasi atau meresapi.
Unsur kebaruan juga muncul di bandara Adi Sutjipto. Rupanya bandara yang bersisian dengan pangkalan Angkatan Udara RI (AURI) ini telah berstatus Bandara internasional.
Berdasarkan pelajaran bandara Lombok, kalau mau naik kelas jadi Internasional, ada beberapa persyaratan. Misalnya kondisi landasan yang memungkinkan semua tipe pesawat mendarat. Kalau Airbus A380 yang maha besar itu, jelas butuh landasan nggak cuma 100 meter donk? Lalu area parkir pesawat juga perlu di perbanyak. Paling tidak delapan pesawat bisa menginap bersamaan.
Saya masuk ke area parkir bandara. Masih sama. Masuk pintu bandara..mulai terlihat perbedaannya.
Dulu pintu masuk ini belum ada, sekarang pintu masuk langsung menukik ke area basement. Kita bisa menuruni tangga berjalan, atau turunan manual dengan karpet karet di tengahnya. jalan mendatar sebentar, mulai menanjak....dan...sampai ke lobi bandara persis!
Rupanya pintu masuk bandara dimajukan supaya lebih mendekat ke stasiun kereta api yang mengarah ke Solo. Jadi bandara Adi sutjipto kini terintegrasi dengan moda kereta api. sip..sip.
Gimana kabar landasan? wah saya nggak ngitung panjang sebelum dan sesudah status internasional. Tapi yang jelas bandara ini sibuuuuk. Saya datang jam setengah 9 pagi untuk menjemput tante yang mendarat jam 9.20.
Selama 50 menit melototin di anjungan, tiga pesawat Garuda Indonesia mendarat dan lepas landas. Satu yang parkir malah pilotnya sempet-sempetnya ngerokok. Ditambah pesawat Batavia Air dan Air Asia mendarat, pesawat Wings Air dan dua pesawat AURI lepas landas, terakhir, datanglah pesawat Lion Air yang ditumpangi tante saya.
Tante saya cerita, jam 9 pagi pesawat sudah masuk zona udara Yogyakarta, tapi pesawat terus muter sambil nunggu jatah turun saking sibuknya itu landasan. Apakah ini dampak dari "internasionalisasi" bandara? mbuh yoo...
Menjemput tante berarti selesai juga perjalanan saya kali ini ke Yogya. Dibilang kurang, ya kurang, tapi lebih dari lima hari, pasti bingung sendiri.
Seperti slogannya, "Yogyakarta never ending Asia", saya tambahin "just end it before you get bored".



Komentar
Posting Komentar