Resign

Jelang petang sebelum pulang..

Kemarin sore, dua rekan sekantor punya kegiatan baru. Berkeliling dan berpamitan, karena hari itu adalah hari terakhir bekerja. Belum juga saya kenal keduanya, mereka sudah hengkang disertai dengan ucapan tulus-tak tulus, "sukses ya,"
 
Berhubung saya tak kenal, maka tak tahu juga sebab pengunduran diri mereka, minimal berasal dari divisi apa. Memang ada satu divisi yang santer isu turn over personal dengan cepat. Tapi saya tak berani memastikan.

Yang pasti, saya pernah berada dalam posisi dua mantan rekan kerja tersebut.

Selama tiga tahun malang melintang dalam dunia pekerjaan, saya baru paham betapa heboh isu si anu mengundurkan diri (resign) jika perusahaan tempat bekerja menetapkan standar ketat soal kepegawaian. Selain itu ia bisa menjadi tolok ukur dari seberapa kuat seseorang pada "seleksi alam" yang berlaku di setiap habitat pekerjaan.
Hampir empat bulan lalu saat saya menandatangani kontrak kerja dengan media massa serius. Dalam perjalanan, saya berhadapan dengan kekagetan bocah baru terjun sebagai jurnalis.

Informasi berhamburan, waktu jadi barang mewah, bidang baru harus dipelajari, tidak ada kata libur selama menjadi jurnalis. Karena ia profesi yang menuntut pengabdian seluruhnya.

Tidak salah, profesi dengan etisnya adalah kehormatan...

Namun menjadi masalah, saat saya mulai merasa lelah. Saat tidak lagi menemukan keasyikan, tertidur setiap malam dengan mimpi deadline laporan, dan terbangun dengan pucat. Hari libur tidak manfaat, pekerjaan adalah teror, perjalanan menjadi beban. Hingga datanglah masa itu, masa tubuh saya berteriak, dan saya terkapar di unit gawat darurat.

Selama dirawat, saya berpikir dalam-dalam, masih inginkah saya bertahan? untuk apa? pekerjaan ini menyakiti tubuh, sumber masalah keseharian. Tapi sisi lain masih bertarung dengan perasaan tidak mau kalah, tidak mau tergeser dari arena seleksi alam, enggan melepas prestise itu.

Tiga minggu sesudah rawat inap, saya ajukan pengunduran diri. Bertepatan dengan tiga bulan pertama bekerja. Rasanya seperti orang jatuh cinta yang baru sadar setelah kehilangan. Setiap melangkah di koridor bergelantungan bingkai foto itu seperti potret buram masa depan yang tak selesai saya jalani.

Perlahan rekan kerja mulai mendengar kabar itu. Ini cobaan lebih berat. Pertanyaan "kenapa" dan asumsi "nggak kuat bertahan" menjadi headline di kantor. Satu per satu saya jelaskan, setiap kata meluncur rasanya tak rela. Jangan hakimi saya kalah, persetan dengan pandangan saya lemah.

Toh harus diakui, saya mundur. Orang bilang kalah, saya bilang ini langkah. Walau mundur, toh tidak membentur tembok. Saya mencari pola lain, yang membebaskan keinginan. Betul saya bakat menulis, tapi belum tentu saya berminat menjadi jurnalis. Banyak orang bilang saya cerdas, tapi si cendekia ini senang menikmati media, bukan menggarapnya.
Hormat mendalam untuk setiap insan yang memuja profesinya, karena itu memang pilihan yang menantang. Sekalipun diam-diam, sebagian mereka juga mengaku ingin juga memundurkan langkah.
Kini saya tengah mencoba area baru, yang teratur dan statis. Apakah ini kemunduran? Tidak juga, karena setelah diingat, ini mimpi yang tertunda, bekerja di kawasan pusat Jakarta.

Saya menang!


Komentar

  1. Dwita,
    Betul, dalam hidup itu bukan istilah soal menang-kalah tetapi memilih apa yang kita inginkan. Satu hal yang pasti, kesehatan adalah urusan prioritas. Kalau hanya karena pekerjaan badan dibuat ambruk dan babak belur, tinggalkan saja...

    So, tetap semangat ya wit..

    BalasHapus
  2. Setelah sekian bulan, ada pertanyaan baru lagi untuk aku. "lebih enak mana jadi wartawan apa kerja kantoran?" hihi...

    Setuju mbak Rahmi, aku tetap mencintai institusi yang lalu, kembali menjadi pembaca setia, dan menikmati rutinitas yang aku pilih.

    Suwun mbak... :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya