2009 Itu
Apa yang sedang saya rasakan sekarang, tidak ada pengalih pas macam televisi, musik hingar-bingar, atau buku yang asyik, maka saya merasa sepi.
Padahal pekerjaan cukup banyak. Piring menanti untuk dicuci, lantai bisa disapu, atau buku tebal mengenai tata bahasa inggris bisa dibuka. Tapi saya tidak berminat. Kenapa? apa yang salah dengan kesendirian ini? bukankah saya yang menginginkannya?
Betul saya sudah memutuskannya, atau memang ini pilihan yang sama tidak enak. Daripada tinggal di tempat yang saya tidak bernyawa didalamnya, saya memilih kebebasan dengan belenggu lain.
Dari sini lahir konsep penjara. Apa susahnya berdiam diri dalam sel, tidak disiksa, diberi makan, minum, kesempatan hidup.
Hanya tubuhnya saja harus berdiam diri selama beberapa waktu. Itulah deritanya, rantainya, pikiran terdalam yang membungkam kebebasan karena tidak ada sosok manusia dekat-dekat tubuh sosialnya. Ia lapar.
Lalu saya menerawang, pada sosok yang telah lama terbunuh dengan kesendiriannya dan kini menikmati kebersamaan di penghujung senja, ayah.
Belasan tahun lalu, saat usia saya belum genap sewindu, ayah harus menerima menjadi pesakitan hasil perbuatannya. Ia terperosok dalam sangkar "bersalah".
Ia punya keluarga, mantan istri, satu anak, tapi ia tidak bisa merangkulnya. Ia begitu saja, menghabiskan waktu dengan mendengar radio yang melantunkan lagu era 60-an, dan menghisap rokok dengan dalam...lambat...dan menatap jauh.
Hari berganti tahun, ketidakberdayaan beralih dendam, penyesalan bersisa benci. Hingga anak itu telah siap meluncur dalam kegamangan, ayah masih menatap jauh. Rokok adalah kekasih dan anaknya. Tatapan itu tidak hapus sekalipun saya ada didekatnya. Apa yang ia pikirkan?
Pengalaman saling mengunci kehidupan memberi kebekuan yang ganjil. Saya hanya meraba dalam diam, tidak kalah diam dengan ayah. Ternyata dalam bisu, bak filsafat, saya malah berbakat memuntahkan kata-kata.
Jika sejak kecil saya dipaksa untuk memahami arti kekosongan yang absurd, maka setelah dewasa harusnya kosong adalah hal biasa.
Tapi tidak juga, saya lantas panik saat dunia ini menunjukkan dinamika yang cepat.
Orang datang dan pergi, dengan cara sopan atau kurang ajar, dan saya tidak kuasa menahannya. Ia bagaikan arus gelombang, surut pasang, begitu saja.
Lalu bagaimana saya isi hampa ini? saya punya keluarga? dengan format ibu, kakak, suami, dan anak-anaknya, ada. Tapi saya cukup puas melihat dari jauh saja.
Bukan prioritas itu tidak enak.
Lalu ayah saya? kami terpisah jarak ratusan kilometer. Bagaimana dengan kawan? seperti berusaha menemukan huruf 'Z' dalam ejaan 'kawan' itu sendiri.
Tapi saya manusia biasa, yang sewaktu-waktu akan sakit, butuh pertolongan, apa perlu saya bayar seseorang agar menjadi teman setia yang menemani dalam susah dan senang, sendirian atau ramai? atau gunakan jalan pintas, terima saja lamaran seorang pria khilaf.
Kini saya dalam posisi ayah yang melawan kesendiriannya. Ia selamat dan mendapat kebahagiaan, sekalipun ia tetap sama, mendengar radio hingga jauh dini hari. Lantunan lagu lawas rupanya candu.
Saya yang katanya sedang di puncak stamina, harus berjuang untuk apa yang saya inginkan. Mulai dari mana? berlagak pintar dengan jago omong juga percuma. Kini saatnya bergerak, untuk satu tujuan.
Bergerak dari kesepian, teriakan enggan, malas, tidak ini, tidak itu, tidak bla-bla-bla...dan tidak sendiri.
ps : tulisan yang saya temukan dalam file lama. Rasanya perlu diabadikan, sekadar pelawan lupa.

Ternyata kamu punya daya metaforik yang mengagumkan atas situasi. Pada bagian ini: "Jika sejak kecil saya dipaksa untuk memahami arti kekosongan yang absurd, maka setelah dewasa harusnya kosong adalah hal biasa." Hmmm *manggut2 sambil sedekap
BalasHapusMakasih mas Fahri....berarti masih ada asa untuk terjun sebagai jurnalis :)
BalasHapus