Dear God


This is just a blast, part of my life, when i faced an option..
Love him or love Me...
What can i do
In You i trust...

Minggu sore tiba-tiba terbersit pikiran konyol, saya ingin mengunjungi gereja bersama teman sekamar. Ia katolik taat dan saya muslim nyaris tobat.

Sulit menggambarkan motivasi menguntit teman beribadah ini, apakah ingin tahu saja, diam-diam niat pindah agama, atau sekadar menghabiskan waktu. 

Baiklah saya sampai di gereja yang berdampingan dengan masjid dan gereja protestan. Kumpulan rumah ibadah ini berada satu komplek dengan markas Brimob Kepolisian. Secara tersirat, komplek seperti ini yang masih menjamin kenyamanan setiap umat beribadah.

Hampir pukul enam, adzan maghrib dan khotbah doa bersahut-sahutan. Sebagai muslim, saya terperanjat. Tapi siklus bulanan membuat saya 'bebas' sesaat dari kewajiban.

Duduk saja anteng melihat sekeliling gereja, memperhatikan cara berdoa umat katolik, dan balik diperhatikan orang sebelah saya. Ibu ini jelas heran semua jemaat sibuk duduk-berdiri-berlutut-bernyanyi, saya tak beranjak dari duduk.

Pukul tujuh proses berdoa selesai. Ibu yang tadinya penasaran dengan saya akhirnya berkenalan, malah sempat-sempatnya menawarkan keponakannya untuk dijodohkan dengan saya, ini benar-benar konyol, batin saya.

Lain tempat, pria ini sedang menahan pusing lantaran flu. Ia katolik juga, dan kami punya kedekatan yang aneh. Digambarkan teman, ia terlalu perhatian. Digambarkan kekasih, jelas tidak mungkin.
Saya mengirim pesan singkat tentang perjodohan kilat ini. Tidak disangka, dia cemburu buta! Ujung-ujungnya dia tidak malu-malu lagi mengungkapkan perasaannya, sekalipun lewat pesan singkat.

Esok hari kami bertemu. Saya rasanya enggan, tapi penasaran juga. Setelah basa-basi, yak, dia ini lega sekali saya tidak tertarik dijodohkan. Dia menyukai saya sejak dulu, dia memberi kesimpulan, saya layak dikejar.

Senang?

Tidak juga. Saya katakan dari dulu memang sudah menyukainya. Dia tahu, kami tahu, tapi dia lebih memilih wanita lain, yang belakangan mengkhianatinya.

Malam itu juga kami sepakat tidak kemana-mana. Tidak berpasangan, tidak mencoba menyatukan perbedaan (seperti orang gila cinta pada umumnya), tidak mencari solusi, tidak bertanya. Ini malam "be jujurly"

Saat ia tidak ada, saya merindukannya, segera. Lalu air mata jatuh, bergulir, melunturkan obat wajah. 

Kami masih bertukar pesan lewat facebook, dan kesepakatan terakhir "beri tahu aku kalau kamu sudah punya pasangan"

"Fair enough"

Wajarkah saya ingin bertanya kenapa? siapa lagi kalau bukan pada Tuhan? Dia ada-ada saja saya pikir. Mempertemukan kami hanya untuk dipisahkan. Apa bagusnya?

Ada rasa lega, ada sedih, ada culas, akhirnya saya tahu perasaan dia, dan cukup. Tidak menarik lagi.

Tapi masih ada sisi wanita juga, saya sedih karena secara resmi, kami mengakhiri segalanya. Tanpa ada yang dimulai. Besok tidak ada lagi yang mengomentari kesehatan saya, tidak juga ada yang bersedia memasakkan makan malam ala rumahan, dan tidak ada yang diam-diam menyimpan perasaan pada saya.

Kisah ini bisa jadi pasaran untuk negeri multi tafsir tentang Ketuhanan macam Indonesia raya. Banyak orang yang mengalami juga..

Tapi ini kisah saya, hanya saya yang paham, hanya saya yang tahu kadar kekosongan lantaran mempertahankan isi hati yang lain..

Hanya saya dan Tuhan...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya