Starbucks
Apa enaknya segelas kopi Starbucks? Kenapa orang-orang rela mengantre untuk kopi berharga - minimal Rp.31.000 - dan lancar mengucap "Mocca Frappucino, tall, non fat"
Mari saya ceritakan pengalaman icip Starbucks pertama seumur hidup.
Dua minggu lalu, area perkantoran terkena demam "pusing kalo nggak ngopi". Wabah ini lantaran kedai kopi asal Amerika Serikat, Starbucks, resmi dibuka di komplek perkantoran saya.
Bagi saya mereka yang menenteng gelas Starbucks tampak lebih berkelas (atau mau dianggap berkelas) karena berjalan cepat-cepat, masih membawa jinjingan di tangan satu, dan membawa gelas kopi di tangan satu lagi.
Wah, ini indikator keberhasilan film Hollywood menyusupi masyarakat dunia ke-3 tentang gambaran orang sukses.
Kebetulan kawan sebelah meja saya termasuk tipe "pusing dadakan". Jadilah setiap pagi ia menenteng gelas Starbucks, sekalipun isinya bukan kopi melulu.
Lama-lama saya jadi penasaran. Apa sih enaknya? Bukannya kawan saya baik-baik saja selama kopi hedonis itu belum ada di kantor? ia biasanya puas dengan es-kopi-susu buatan Office Boy.
Maka saya menunggu sampai gajian. Saking ogah ruginya, saya bela-belain mencari pemilik kartu kredit BCA, karena ada promo beli satu gratis satu.
Saya datang ke gedung sebelah dan melihat dari pintu kaca, pembeli kopi sudah mengular. Saya katakan terus terang pada teman bahwa ini kali pertama beli kopi Starbucks. Saya minta dipilihkan satu jenis yang rasanya nggak kopi banget, plus kursus singkat kepribadian, biar nggak ketahuan ndeso.
Teman menyarankan Mocha Frappucino, dengan susu non-fat, dingin. Harga aslinya Rp.40.000, tapi karena saya join dengan teman, cukup Rp.20.000..Tadaaa, datang es Mocha saya, dengan susu di dasar gelas, di atasnya kopi campuran warna cokelat keruh.
Rasanya?? hiiiy, pait! Segera saya sesali kenapa tidak meneliti lebih jauh menu di tembok. Karena buru-buru dan takut ketahuan "muka baru", saya langsung ikut saja saran teman, lupa kalau teman gemar kopi dan saya sama sekali tidak.
Gelas dilapisi semacam kardus tebal biar tangan tidak dingin saat memegang. Setelah itu kami masih nongkrong di depan kedai. Walaupun tidak enak, tetap saya minum, entah karena gengsi, ogah rugi, atau kemaruk.
Sepanjang nongkrong, barista (sebutan untuk peracik kopi) berseliweran membagikan sampel aneka minuman yang disediakan di Starbucks. Dalam gelas mungil, saya sempat menyicip choco Frappe, Vanilla Frappe, dan Strawberry Frappe.
Semuanya enak, setidaknya lebih enak daripada Mocha ice saya.
Saya perhatikan orang yang membeli minum di kedai itu sebenarnya tidak benar-benar membeli esensi kedai, yaitu kopi. Kebanyakan mereka membeli minuman cokelat, teh hijau, kalaupun ada kopi, kebanyakan campuran.
Padahal Starbucks berjaya di Amerika Serikat karena ragam kopi hitamnya, apalagi kopi luwak. Saya pernah melihat film dokumenter yang menceritakan perjalanan Starbucks. Mereka getol benar dengan kopi dari Indonesia, saat itu kopi Aceh.
Terus apa kabar kopi murni itu sekarang? yaa, sepertinya luntur karena orang Indonesia tidak terlalu suka ngopi. Lebih-lebih generasi saya yang cepat paham lebih enak manis daripada pahit, ditambah paham label.
Yak, dengan harga mahal, logo yang positioning-nya kuat, langsung menunjuk "ini Amerika banget", negara berkembang macam kita nunut aja asal made in USA.
Walau kopi saya nggak enak, tetep merasa keren menenteng gelas plastik ini kemana-mana. Rasanya seperti "hey, i'm in lho", "gw happening donk", "jangan anggep remeh gw"
Kesimpulan saya, harga Rp.40.000 itu terdiri dari Rp. 15.000 harga asli kopi beserta bahan campuran, Rp. 2.000 untuk gelas, kardus pelapis, dan sedotan, Rp.3000 gaji karyawan, Rp.10.000 harga sebuah prestise bagi yang membelinya.
Harusnya hal ini juga berlaku pada semua label dengan target yang "sadar image". Pelan-pelan pikiran ingin eksklusif juga menggelayut di otak saya.
Zara, Swiss Army, Starbucks, I'm in...
Mari saya ceritakan pengalaman icip Starbucks pertama seumur hidup.
Dua minggu lalu, area perkantoran terkena demam "pusing kalo nggak ngopi". Wabah ini lantaran kedai kopi asal Amerika Serikat, Starbucks, resmi dibuka di komplek perkantoran saya.
Bagi saya mereka yang menenteng gelas Starbucks tampak lebih berkelas (atau mau dianggap berkelas) karena berjalan cepat-cepat, masih membawa jinjingan di tangan satu, dan membawa gelas kopi di tangan satu lagi.
Wah, ini indikator keberhasilan film Hollywood menyusupi masyarakat dunia ke-3 tentang gambaran orang sukses.
Kebetulan kawan sebelah meja saya termasuk tipe "pusing dadakan". Jadilah setiap pagi ia menenteng gelas Starbucks, sekalipun isinya bukan kopi melulu.
Lama-lama saya jadi penasaran. Apa sih enaknya? Bukannya kawan saya baik-baik saja selama kopi hedonis itu belum ada di kantor? ia biasanya puas dengan es-kopi-susu buatan Office Boy.
Maka saya menunggu sampai gajian. Saking ogah ruginya, saya bela-belain mencari pemilik kartu kredit BCA, karena ada promo beli satu gratis satu.
Saya datang ke gedung sebelah dan melihat dari pintu kaca, pembeli kopi sudah mengular. Saya katakan terus terang pada teman bahwa ini kali pertama beli kopi Starbucks. Saya minta dipilihkan satu jenis yang rasanya nggak kopi banget, plus kursus singkat kepribadian, biar nggak ketahuan ndeso.
Teman menyarankan Mocha Frappucino, dengan susu non-fat, dingin. Harga aslinya Rp.40.000, tapi karena saya join dengan teman, cukup Rp.20.000..Tadaaa, datang es Mocha saya, dengan susu di dasar gelas, di atasnya kopi campuran warna cokelat keruh.
Rasanya?? hiiiy, pait! Segera saya sesali kenapa tidak meneliti lebih jauh menu di tembok. Karena buru-buru dan takut ketahuan "muka baru", saya langsung ikut saja saran teman, lupa kalau teman gemar kopi dan saya sama sekali tidak.
Gelas dilapisi semacam kardus tebal biar tangan tidak dingin saat memegang. Setelah itu kami masih nongkrong di depan kedai. Walaupun tidak enak, tetap saya minum, entah karena gengsi, ogah rugi, atau kemaruk.
Sepanjang nongkrong, barista (sebutan untuk peracik kopi) berseliweran membagikan sampel aneka minuman yang disediakan di Starbucks. Dalam gelas mungil, saya sempat menyicip choco Frappe, Vanilla Frappe, dan Strawberry Frappe.
Semuanya enak, setidaknya lebih enak daripada Mocha ice saya.
Saya perhatikan orang yang membeli minum di kedai itu sebenarnya tidak benar-benar membeli esensi kedai, yaitu kopi. Kebanyakan mereka membeli minuman cokelat, teh hijau, kalaupun ada kopi, kebanyakan campuran.
Padahal Starbucks berjaya di Amerika Serikat karena ragam kopi hitamnya, apalagi kopi luwak. Saya pernah melihat film dokumenter yang menceritakan perjalanan Starbucks. Mereka getol benar dengan kopi dari Indonesia, saat itu kopi Aceh.
Terus apa kabar kopi murni itu sekarang? yaa, sepertinya luntur karena orang Indonesia tidak terlalu suka ngopi. Lebih-lebih generasi saya yang cepat paham lebih enak manis daripada pahit, ditambah paham label.
Yak, dengan harga mahal, logo yang positioning-nya kuat, langsung menunjuk "ini Amerika banget", negara berkembang macam kita nunut aja asal made in USA.
Walau kopi saya nggak enak, tetep merasa keren menenteng gelas plastik ini kemana-mana. Rasanya seperti "hey, i'm in lho", "gw happening donk", "jangan anggep remeh gw"
Kesimpulan saya, harga Rp.40.000 itu terdiri dari Rp. 15.000 harga asli kopi beserta bahan campuran, Rp. 2.000 untuk gelas, kardus pelapis, dan sedotan, Rp.3000 gaji karyawan, Rp.10.000 harga sebuah prestise bagi yang membelinya.
Harusnya hal ini juga berlaku pada semua label dengan target yang "sadar image". Pelan-pelan pikiran ingin eksklusif juga menggelayut di otak saya.
Zara, Swiss Army, Starbucks, I'm in...

bagus tulisannya.
BalasHapussepakat sama idenya, kita udah termakan merk...
Kamsia..kamsia
BalasHapuslike this
BalasHapusMakasih Titin Natalia
BalasHapusbaskin n robbins juga #1 patpuluhrebu ane beli es kopi capucino, pikir2 mending beli es kopi botolan di warung biasa tujurebuan, tapi ya penasaranya ilang kalo udh lakonin. ni ane skr blm kesampean juga dan penasaran banget ama yg namanya "sukiyaki", btw jeng ada review tentang itu? enak tidak, cocok dilidah basic rendang ga, apakah sukiyaki itu mirip soto daging atau lbih baik jangan?(ngeliatin keluarga shinchan makan itu makanan ane jd tergiurr) dimana ya resto jepang yang murah yg enak,
BalasHapusHui Titto thanks udah berkunjung ke blog saya. Sebelumnya dikau tinggal di daerah mana? Jadi saya bisa ngasih rekomendasi yang tepat. Intinya suki (ditambah -yaki) semuanya direbus. Kita tinggal masukin sayur, daging, atau telur sesuka kita di panci isi kuah kaldu dan ditaro di atas meja yang tengah-tengahnya ada kompor. Soal rasa, kalau dikau suka spicy kayaknya agak nggak masuk sama suki ini, karena cenderung "tipis" rasanya. Demikian semoga membantu yo.
BalasHapus