Mahalnya Sebuah Kekerabatan

"I'm going home, to the place where i belong, where your love has always been enough for me" - Chris Daughtry-

Minggu lalu saya datang ke Purwokerto, kota kecil di Jawa tengah. Lebih tepatnya kecil secara ukuran tapi tidak kalah ramai dibanding kota besar seperti Semarang.

Saya pernah tinggal di Purwokerto saat usia 6 sampai 8 tahun, ikut ibu dinas kantor, 17 tahun silam. Kebetulan keluarga ibu kebanyakan ada disini. Jadi in-official keluarga ibu Purwokerto, keluarga ayah Yogyakarta.

Tadinya tujuan saya yogya karena saya ingin sowan pada ayah yang sudah lama tidak saya temui. Tapi rencana ini bubar berantakan karena ibu saya menyalip dengan acara 1000 hari mendiang kakaknya.Saya disarankan (lalu memaksa) untuk pergi ke Purwokerto baru ke Yogya.

Pertama saya kesal sekali. Apalagi ibu saya ini bakat intimidatif dengan kalimat mematikannya,

"Kamu kan nggak pernah ke saudara mama,"

Arrrgh...saya benci sekali mendengar kilah seperti itu. Kenapa sih harus membeda-bedakan mana saudara ayah atau ibu saya? lagi pula kalau saya lebih memilih yogyakarta karena ayah saya ada disana bukan? tapi saya diam saja.

Setelah berkonsultasi dengan ayah, kami sepakat bertemu di Purwokerto. Setengah nggrundel saya katakan pada ibu saya akan mengikuti keinginannya dan menekankan tidak akan terus ke Yogya.

Ibu tetaplah ibu yang tidak tega melihat anaknya kecewa. Di wajahnya tersirat penyesalan. Sudahlah, saya harus belajar legowo.

Sebenarnya kalimat ibu ada benarnya. Kalau memilih saya pasti ke Yogya. Kenapa? selain ayah ada disana, keluarga ayah juga lebih asyik. Saudara sepupu terbilang sebaya, minimal masih era-nya. Lalu mereka jauh lebih moderat, dalam arti lepas dari printil-printil ruwet khas pakem priyayi.

"ambil yang praktis, nggak usah sensitif, pikir positif, selesaikan cepat, utamakan kebersamaan," kurang lebih seperti itu karakter keluarga ayah yang berdarah campuran, alias tidak njowo banget.

"sarat konflik, terlalu mementingkan gengsi, perilaku feodal, masih terbawa-bawa status priyayi, hobi bergunjing, cepat tersinggung, budaya korup tumbuh subur karena mengejar status," ini karakter keluarga ibu yang berdarah murni njowo.

Saya tidak ingin menyerempet ke masalah suku, tapi begitulah kenyataannya. Saya harus akui bangsa Jawa punya watak yang menyebalkan, padahal saya juga orang Jawa.Untunglah saya lama tinggal di ibukota, jadi tidak keburu berwatak chauvinis seperti itu.

Tapi ada beberapa anggota keluarga ibu yang cukup waras. Saya menginap di rumahnya. Ini keluarga keponakan ibu yang sudah meraup sukses sebagai pegawai negeri. Saya hanya tidak kuat dengan gunjingannya, ini contoh ibu-ibu gosip tulen. Infotainment butuh pekerja seperti ini.

Siapa saja selama satu kota Purwokerto, pasti dia kenal plus dengan kabar terbaru. Saya hanya tersenyum-senyum. Tapi mulai malas kalau menggunjingkan sesama anggota keluarga. Sialnya anggota keluarga yang digunjingi juga berperilaku antik, walhasil saya manggut-manggut saja saban hari mendengar cerocosan dialek Banyumasan agak ke Sunda-sundaan..halah.

Suatu sore sebelum kembali ke ibukota, saya mendekati om saya. Dia sosok yang baik hati tapi ketularan juga sama istrinya. Mula-mula dia bercerita soal apa yang boleh dan jangan ditiru dari keluarga kami. Lama-lama saya diinterogasi sangat detail.

Kerja apa, cara mendapatkan pekerjaan, nominal gaji, lokasi kontrakan, sama siapa, berapa petak, dan sederet pertanyaan lain yang saya jawab dengan setengah jengah.

Selama disana saya bisa merasakan gesekan antara pikiran saya yang cenderung pragmatis dan keluarga yang banyak unggah-ungguh. Memikirkan banyak kepentingan.

Karena niat saya berlatih jadi bacpacker, saya paling anti bawa jinjingan lebih dari satu. Cukup ransel dan tas kecil. Kalau sudah penuh ya tidak usah beli buah tangan. Tapi keluarga saya tidak bisa menerima logika egois seperti itu. Tetap saja saya dititipi oleh-oleh satu kardus besar.

Haduuh, rempong deh tante...

Belum lagi kalau berkunjung dari satu saudara ke saudara lain, ibu saya ribut cari toko kue untuk oleh-oleh. Perhitungan kasar saya paling tidak uang 500 ribu rupiah untuk kepentingan perbuahan ini.

Ini belum termasuk oleh-oleh tuan rumah pada tamu, atau oleh-oleh besan kepada besan. Tidak heran ayah saya pulang ke Yogya bagasi mobilnya penuh dengan oleh-oleh.

Saya pulang menumpang kereta kelas eksekutif. Sekalipun kelasnya eksekutif, kelakuan penumpangnya tetap kelas ekonomi, berebut masuk gerbong agar dapat mengambil jatah bagasi seluas-luasnya untuk bawaan mereka. Saya masuk paling akhir, menyelipkan ransel, dan duduk manis.

Peluit kereta berbunyi panjang..perlahan kereta bergerak..saya melambaikan tangan pada om, tante, dan putrinya.

Selama perjalanan, saya melihat deretan kardus, berganti koper, kardus lagi, koper lagi, di atas kepala saya. Saya jadi ingat oleh-oleh dari bude yang saya tinggalkan untuk dipaketkan dengan pos. Karena saya berkeras enggan repot.

Lalu perlahan saya mulai mengerti, bukan masalah kardus beserta isinya. Tapi ada sebentuk perhatian yang menandakan kita ini masih keluarga. Dengan hitungan apapun, buah tangan, oleh-oleh sifatnya priceless.

Tidak akan terhitung dengan uang, atau logika praktis-tidak praktis. Sudah pasti tidak bisa terbantah dengan pikiran "kota" yang serba efisien macam saya, ia memang berlaku sebagai tradisi, yang senantiasa lambat, dan sebaiknya kekal seperti adanya. Saya tolol kalau masih mendebat berusaha mengubah pola pikir.

Sekalipun budaya buah tangan ini membidani praktek suap, tapi pada dasarnya ia dilakoni untuk membina tali kekeluargaan.Prosesnya dalam membeli, membungkus, memberikan sampai ke tempat tujuan itu yang sarat dengan pengharapan.

"Semoga saya diingat, kamu mengingat, kita saling mengingat,"

Perjalanan kali ini singkat, tapi saya tidak menyesal. Ada yang bisa saya petik. Setidaknya nilai keluarga masih terasa di keluarga ibu walaupun sayup. Saya juga harus sering-sering berkunjung ke keluarga mana saja dan merayakan tali kekerabatan sesering mungkin.

Sambil tersenyum-senyum mendengar gunjingan, atau menerima wawancara dadakan, juga unggah-ungguh merepotkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya