Temanku, Pujaanku, Kesedihanku, Sahabatku
Kamis sebelum eksekusi, jam 8 malam.
Saya ada di daerah Cilandak untuk menonton film yang memajang aktor Matt Damon sebagai penarik, Green Zone.
Sampai di lobi saya mencari satu wajah yang hampir tiga tahun tidak pernah berjumpa. Ternyata saya masih bisa mengenali walau hanya melihat punggungnya.
Dia mengenakan kaus abu-abu dan celana bahan resmi. Rupanya ia bersiap juga untuk pertemuan ini, setidaknya ia rela berganti baju dari kemeja resmi setelan kantor ke kaus.
Tidak banyak yang berubah, masih berkulit bersih, enak dilihat, hanya sedikit menggemuk.
Panggilan standar, "pintu teater 2 telah dibuka..bla..bla.." terdengar. Masuk teater, cari tempat duduk, keluarkan cemilan, lampu perlahan padam, seiring padamnya kesadaran ada orang di sebelah saya.
Tenggelam dalam jalan cerita yang berlatar belakang perang Irak dibumbui teori konspirasi. Matt Damon masih tampan dan lebih tentara daripada tentara asli. Scene berjalan cepat untuk menghasilkan efek tegang ala peperangan.
Setidaknya terkesan perang untuk perang bikin-bikinan Amerika masa Bush junior ini.
Saya malah tersentil kala tokoh yang diperankan Matt Damon masih menyempatkan diri membaca berita sebagai bekal perang, menulis jurnal, dan membentak jurnalis yang menyebarkan berita bohong.
"Lha gw nulisnya gimana?"
Selesai film kami mencari makan malam dan memutuskan membeli sate ayam dekat rumah kecil.
Jujur saja saya tidak banyak bicara, karena tahun ini adalah tahun dia. Dalam arti saatnya dia diberi ruang luas untuk didengarkan. Kisah cintanya kandas setelah merajut dan berjuang selama empat tahun. si wanita sadar belakangan ada sosok yang lebih..nggak tahu juga lebih apa daripada sosok bagus yang ada di depan saya ini.
Saya seperti menyimak drama radio, ia bercerita tentang perjuangan di tahun pertama untuk meyakinkan kedua orang tuanya bahwa wanita ini adalah pujaan hatinya. Tahun kedua ia berlapang dada karena jabatan tangannya diabaikan oleh ayah si wanita, dan tahun ketiga ia mulai tersenyum karena ibu si wanita mengajaknya mampir lagi ke rumah.
Tahun keempat ayahnya mempertanyakan keseriusan, dan ia menjawab "saya serius,". Demikianlah hingga ia banting tulang bekerja dari pagi sampai pagi lagi. Sibuk mencari cincin berlian untuk melamar.
Seperti kata Marilyn monroe, "Diamond is a Woman Best friend"
Apa daya, suatu pagi wanita ini memeluknya erat dan mengatakan usai. Tanda bahwa saatnya mereka berjalan masing-masing. Dia hanya terdiam.
Layaknya kebohongan, ia tersimpan hanya sesaat. Dia pun tahu, wanitanya telah berpaling dan dunianya hancur.
"Berat banget gue cerita ini, kalo ada 100 tusuk sate, gue makan semuanya," ujarnya.
Saya ada di hadapannya, melihat tangannya bergetar memegang gelas, dan melempar tusukan sate yang dagingnya masih bersisa dan robek sana-sini. Mungkin seperti itulah hatinya.
Dia, lelaki ini, memang sosok yang luar biasa sabar. Dia masih sempat menyisipkan pesan untuk tidak bercerita ke siapa pun, karena tidak ingin wanita ini jatuh reputasinya.
Saya diam saja.
Diam melihat orang ini terpuruk. Kadang tersenyum kecil, dan mengajukan pertanyaan singkat.
Empat tahun lalu, dia adalah pujaan hati saya. Saya menyukainya saat melihat dia duduk diam di pojok warung tempat kami berkumpul. Senior kampus tiga tahun diatas saya. Penasaran, saya ajak ngobrol, ternyata ia menyenangkan.
Cerdas, dan berhati lembut. Menyayangi keluarganya, enak dilihat, berkulit bersih, tipe belakang layar yang memikirkan konsep tapi enggan tampil.
Sedemikian dekatnya kami, saya bisa menelepon dia berjam-jam, berkirim pesan singkat seharian penuh, dan mengobrol sampai lupa waktu. Tidak terpikir untuk menjalani hubungan lebih dari teman, karena perbedaan prinsip antara kami.
Hingga suatu hari saya melihat dia bersama wanita itu, wanita yang sekarang membunuh hatinya. Hati saya terbakar. Hubungan kami memburuk.
Lalu ia datang dengan jiwa besarnya dan menjelaskan segala sesuatu. Ia katakan dengan jujur ia menyukai saya dan wanita itu. Ia katakan ia ingin memberi saya bunga, tapi urung. Ia tegaskan ia tidak masalah menjalani hubungan beda agama, tapi karena wanita ini lebih mencuri hatinya daripada saya. Dia sudah mengincarnya jauh hari sebelum kenal saya.
Tentu saja saya tidak terima. Tangis saya meledak satu jam sesudah pertemuan itu.
Tapi dua minggu sesudahnya, hubungan kami membaik lagi. Dia malah datang ke rumah dan bertamu hingga dini hari. Dua kali, dan terjadi saat dia sudah bersama wanita itu.
Itu bukan pertemuan berbau pengkhianatan, tapi pertemanan yang diwarnai keanehan.
Rasanya sakit menerima saya belum cukup menaklukkan hatinya. Tapi perlahan saya akui dia adalah laki-laki yang memperlakukan saya dengan hormat. Menghargai saya dengan kejujuran, bukan menusuk dari belakang seperti lelaki pengecut yang banyak saya temui sesudahnya.
Kembali ke meja, kini tusukan sate sudah habis dilahap, sepuluh tusuk dengan robekan daging yang menyayat.
Dia kembali lagi, menumpahkan carut marut kisahnya pada saya, wanita yang dikalahkan oleh wanita lain yang membuatnya bergetar dan hancur.
Saya tidak senang dengan "kemenangan" ini, tidak juga cukup bersedih untuknya. Yang pasti, senyum sungging sering mampir di bibir saya yang kejam.
Sore satu jam sebelum eksekusi, pesan singkat masuk,
" Gmn bu dah kelar kah?"
Dia tetap lelaki itu, yang terdiam di pojok warung dan meletakkan tangan menutupi mulutnya.
Saya ada di daerah Cilandak untuk menonton film yang memajang aktor Matt Damon sebagai penarik, Green Zone.
Sampai di lobi saya mencari satu wajah yang hampir tiga tahun tidak pernah berjumpa. Ternyata saya masih bisa mengenali walau hanya melihat punggungnya.
Dia mengenakan kaus abu-abu dan celana bahan resmi. Rupanya ia bersiap juga untuk pertemuan ini, setidaknya ia rela berganti baju dari kemeja resmi setelan kantor ke kaus.
Tidak banyak yang berubah, masih berkulit bersih, enak dilihat, hanya sedikit menggemuk.
Panggilan standar, "pintu teater 2 telah dibuka..bla..bla.." terdengar. Masuk teater, cari tempat duduk, keluarkan cemilan, lampu perlahan padam, seiring padamnya kesadaran ada orang di sebelah saya.
Tenggelam dalam jalan cerita yang berlatar belakang perang Irak dibumbui teori konspirasi. Matt Damon masih tampan dan lebih tentara daripada tentara asli. Scene berjalan cepat untuk menghasilkan efek tegang ala peperangan.
Setidaknya terkesan perang untuk perang bikin-bikinan Amerika masa Bush junior ini.
Saya malah tersentil kala tokoh yang diperankan Matt Damon masih menyempatkan diri membaca berita sebagai bekal perang, menulis jurnal, dan membentak jurnalis yang menyebarkan berita bohong.
"Lha gw nulisnya gimana?"
Selesai film kami mencari makan malam dan memutuskan membeli sate ayam dekat rumah kecil.
Jujur saja saya tidak banyak bicara, karena tahun ini adalah tahun dia. Dalam arti saatnya dia diberi ruang luas untuk didengarkan. Kisah cintanya kandas setelah merajut dan berjuang selama empat tahun. si wanita sadar belakangan ada sosok yang lebih..nggak tahu juga lebih apa daripada sosok bagus yang ada di depan saya ini.
Saya seperti menyimak drama radio, ia bercerita tentang perjuangan di tahun pertama untuk meyakinkan kedua orang tuanya bahwa wanita ini adalah pujaan hatinya. Tahun kedua ia berlapang dada karena jabatan tangannya diabaikan oleh ayah si wanita, dan tahun ketiga ia mulai tersenyum karena ibu si wanita mengajaknya mampir lagi ke rumah.
Tahun keempat ayahnya mempertanyakan keseriusan, dan ia menjawab "saya serius,". Demikianlah hingga ia banting tulang bekerja dari pagi sampai pagi lagi. Sibuk mencari cincin berlian untuk melamar.
Seperti kata Marilyn monroe, "Diamond is a Woman Best friend"
Apa daya, suatu pagi wanita ini memeluknya erat dan mengatakan usai. Tanda bahwa saatnya mereka berjalan masing-masing. Dia hanya terdiam.
Layaknya kebohongan, ia tersimpan hanya sesaat. Dia pun tahu, wanitanya telah berpaling dan dunianya hancur.
"Berat banget gue cerita ini, kalo ada 100 tusuk sate, gue makan semuanya," ujarnya.
Saya ada di hadapannya, melihat tangannya bergetar memegang gelas, dan melempar tusukan sate yang dagingnya masih bersisa dan robek sana-sini. Mungkin seperti itulah hatinya.
Dia, lelaki ini, memang sosok yang luar biasa sabar. Dia masih sempat menyisipkan pesan untuk tidak bercerita ke siapa pun, karena tidak ingin wanita ini jatuh reputasinya.
Saya diam saja.
Diam melihat orang ini terpuruk. Kadang tersenyum kecil, dan mengajukan pertanyaan singkat.
Empat tahun lalu, dia adalah pujaan hati saya. Saya menyukainya saat melihat dia duduk diam di pojok warung tempat kami berkumpul. Senior kampus tiga tahun diatas saya. Penasaran, saya ajak ngobrol, ternyata ia menyenangkan.
Cerdas, dan berhati lembut. Menyayangi keluarganya, enak dilihat, berkulit bersih, tipe belakang layar yang memikirkan konsep tapi enggan tampil.
Sedemikian dekatnya kami, saya bisa menelepon dia berjam-jam, berkirim pesan singkat seharian penuh, dan mengobrol sampai lupa waktu. Tidak terpikir untuk menjalani hubungan lebih dari teman, karena perbedaan prinsip antara kami.
Hingga suatu hari saya melihat dia bersama wanita itu, wanita yang sekarang membunuh hatinya. Hati saya terbakar. Hubungan kami memburuk.
Lalu ia datang dengan jiwa besarnya dan menjelaskan segala sesuatu. Ia katakan dengan jujur ia menyukai saya dan wanita itu. Ia katakan ia ingin memberi saya bunga, tapi urung. Ia tegaskan ia tidak masalah menjalani hubungan beda agama, tapi karena wanita ini lebih mencuri hatinya daripada saya. Dia sudah mengincarnya jauh hari sebelum kenal saya.
Tentu saja saya tidak terima. Tangis saya meledak satu jam sesudah pertemuan itu.
Tapi dua minggu sesudahnya, hubungan kami membaik lagi. Dia malah datang ke rumah dan bertamu hingga dini hari. Dua kali, dan terjadi saat dia sudah bersama wanita itu.
Itu bukan pertemuan berbau pengkhianatan, tapi pertemanan yang diwarnai keanehan.
Rasanya sakit menerima saya belum cukup menaklukkan hatinya. Tapi perlahan saya akui dia adalah laki-laki yang memperlakukan saya dengan hormat. Menghargai saya dengan kejujuran, bukan menusuk dari belakang seperti lelaki pengecut yang banyak saya temui sesudahnya.
Kembali ke meja, kini tusukan sate sudah habis dilahap, sepuluh tusuk dengan robekan daging yang menyayat.
Dia kembali lagi, menumpahkan carut marut kisahnya pada saya, wanita yang dikalahkan oleh wanita lain yang membuatnya bergetar dan hancur.
Saya tidak senang dengan "kemenangan" ini, tidak juga cukup bersedih untuknya. Yang pasti, senyum sungging sering mampir di bibir saya yang kejam.
Sore satu jam sebelum eksekusi, pesan singkat masuk,
" Gmn bu dah kelar kah?"
Dia tetap lelaki itu, yang terdiam di pojok warung dan meletakkan tangan menutupi mulutnya.


aseli,jadi ingin mengenal lelaki itu, untuk berguru ilmu kebijaksanaan..
BalasHapusJangan...ntar naksir, hahaha..
BalasHapus