"Susu" Harvey Milk
22.50 sambil begadang.
Sepi saja di rumah kecil, maka saya menghabiskan waktu sambil menonton film. Saya memilih satu film-yang saya anggap konyol- berjudul Milk.
Milk termasuk kategori film yang saya gemari, berdasarkan kisah nyata, tidak semata mengumbar romantisme, dan tidak sadis. Diambil dari nama belakang tokoh utamanya, Harvey Milk, seorang homoseksual yang hidup pada era 70an di Amerika Serikat.
Saya baru tahu ternyata di negara yang menjunjung kebebasan individu macam Amerika, homo juga harus berjuang keras agar diterima. Kala itu perlakuan diskriminatif kerap nyasar pada orang macam Harvey, yang memiliki orientasi seksual searah dengan kelaminnya.
Maka Harvey berjuang untuk menentang ketidakadilan tersebut. Ia sadar bahwa perjuangan untuk diterima memerlukan suatu mandat yang tidak kentara, kendaraan yang membuatnya dinamis, dan publisitas yang membuat suaranya terdengar. Ia butuh kekuasaan.
Begitulah setengah lebih jalan cerita film ini menceritakan pergulatan seorang gay untuk mendapat kekuasaan legal, yang dapat mengatur jalan hidup orang banyak lewat kursi politik, kursi dewan pengawas setingkat kota di San Fransisco, dan ia mendapatkannya.
Saya terkesan. Bukan saja dengan rasa geli melihat sesama pria berciuman, atau bercinta, tapi juga mengetuk hati saya untuk menyaring masalah pilihan hidup.
Lawan politik Milk tidak lain kelompok agama sejati yang menganggap homoseksual adalah laknat dan menghancurkan moral yang mensucikan ikatan keluarga, dengan istri, suami, dan anak-anak yang lucu.
Lalu kubu Milk tidak kalah sengit dengan mengatakan bahwa mereka terlahir dari keluarga heteroseksual dan tidak memilih untuk menjadi seorang gay.
Mana yang benar? memilih menjadi seorang bermoral atau menjadi yang membebaskan nurani jika mereka memang berbeda. Begitu banyak perbedaan semacam itu, selalu minoritas terbuat, dan itu menyedihkan.
Saya sendiri mempunyai teman yang dengan jujur adalah seorang gay. Sebenarnya saya juga menganggap hal itu edan, namun karena takut dikira norak, saya belagak cuek saja seolah bisa menerima, menganggap itu hal yang so-so.
Belum menemukan jawaban juga. Namun saya sadar, perlahan hitam-putih dalam diri saya mulai membaur menjadi abu-abu, atau aneka warna.
Kalau saya belum bisa menerima sesuatu, bukan berarti tidak akan menerima. Kini saya mulai mengamini pilihan hidup yang sangat pribadi bagi setiap orang.
Untuk bercinta, tidak bercinta, untuk tertarik dengan sesama jenis atau lawan jenis, untuk menikah tidak menikah, untuk mabuk tidak mabuk, untuk mencintai pasangan orang lain, atau tidak, dengan catatan tidak bergesekan dengan pilihan hidup orang lain.
Dan Harvey Milk tewas dibunuh oleh rekan yang kalah tenar, tahun 1984...
Sepi saja di rumah kecil, maka saya menghabiskan waktu sambil menonton film. Saya memilih satu film-yang saya anggap konyol- berjudul Milk.
Milk termasuk kategori film yang saya gemari, berdasarkan kisah nyata, tidak semata mengumbar romantisme, dan tidak sadis. Diambil dari nama belakang tokoh utamanya, Harvey Milk, seorang homoseksual yang hidup pada era 70an di Amerika Serikat.
Saya baru tahu ternyata di negara yang menjunjung kebebasan individu macam Amerika, homo juga harus berjuang keras agar diterima. Kala itu perlakuan diskriminatif kerap nyasar pada orang macam Harvey, yang memiliki orientasi seksual searah dengan kelaminnya.
Maka Harvey berjuang untuk menentang ketidakadilan tersebut. Ia sadar bahwa perjuangan untuk diterima memerlukan suatu mandat yang tidak kentara, kendaraan yang membuatnya dinamis, dan publisitas yang membuat suaranya terdengar. Ia butuh kekuasaan.
Begitulah setengah lebih jalan cerita film ini menceritakan pergulatan seorang gay untuk mendapat kekuasaan legal, yang dapat mengatur jalan hidup orang banyak lewat kursi politik, kursi dewan pengawas setingkat kota di San Fransisco, dan ia mendapatkannya.
Saya terkesan. Bukan saja dengan rasa geli melihat sesama pria berciuman, atau bercinta, tapi juga mengetuk hati saya untuk menyaring masalah pilihan hidup.
Lawan politik Milk tidak lain kelompok agama sejati yang menganggap homoseksual adalah laknat dan menghancurkan moral yang mensucikan ikatan keluarga, dengan istri, suami, dan anak-anak yang lucu.
Lalu kubu Milk tidak kalah sengit dengan mengatakan bahwa mereka terlahir dari keluarga heteroseksual dan tidak memilih untuk menjadi seorang gay.
Mana yang benar? memilih menjadi seorang bermoral atau menjadi yang membebaskan nurani jika mereka memang berbeda. Begitu banyak perbedaan semacam itu, selalu minoritas terbuat, dan itu menyedihkan.
Saya sendiri mempunyai teman yang dengan jujur adalah seorang gay. Sebenarnya saya juga menganggap hal itu edan, namun karena takut dikira norak, saya belagak cuek saja seolah bisa menerima, menganggap itu hal yang so-so.
Belum menemukan jawaban juga. Namun saya sadar, perlahan hitam-putih dalam diri saya mulai membaur menjadi abu-abu, atau aneka warna.
Kalau saya belum bisa menerima sesuatu, bukan berarti tidak akan menerima. Kini saya mulai mengamini pilihan hidup yang sangat pribadi bagi setiap orang.
Untuk bercinta, tidak bercinta, untuk tertarik dengan sesama jenis atau lawan jenis, untuk menikah tidak menikah, untuk mabuk tidak mabuk, untuk mencintai pasangan orang lain, atau tidak, dengan catatan tidak bergesekan dengan pilihan hidup orang lain.
Dan Harvey Milk tewas dibunuh oleh rekan yang kalah tenar, tahun 1984...

jadi, hidup adalah persoalan memilih dan bagaimana mempertanggungjawabkan pilihan itu ya mit?
BalasHapusYha ngak soal milih mulu sih..tapi ada kalanya ketemu dengan pilihan dan alangkah baiknya kita bertanggung jawab dengan satu yang terpilih..mengusahakannya dengan maksimal.
BalasHapus