Generasi Tanpa Ayah
21.35, wangi, 3 Februari 2010
Judul di atas merupakan judul reportase yang dilakukan seorang kenalan asal Papua, Benny namanya.
Saya bertemu dengannya minggu lalu di 1809, nomor ini memang dunia Avatar.
Saya bingung juga memulai pembicaraan, padahal dia kan saudara -yang katanya satu bangsa-kenyataannya dia lebih asing daripada bangsa barat.
Mati-matian belajar bahasa Inggris, berangan bisa bahasa Jerman, tapi embuh dengan bahasa saudara sendiri. Saya ini contoh propaganda P4 yang gagal.
Kembali ke Benny. Ia senang sekali menceritakan kondisi di Papua, pulau yang pernah saya lihat di peta saja. Sejak bergabung dengan aliran ekstrem 1809, cerita miring soal "keIndonesiaan" ini membayangi saya.
Saya hanya termangu saja mendengar Benny bercerita bahwa bangsa Jawa, bangsa yang mengalirkan darahnya dalam tubuh saya, menindas habis-habisan di tanah paling timur Indonesia.
Perkosaan, penculikan, pembunuhan, semuanya terjadi atas prakarsa tentara Indonesia, dan mayoritas bangsa Jawa.
Benny sendiri pernah mendapat "kenang-kenangan" dari tentara. Lututnya ditimpa kaki meja dan diduduki oleh beberapa tentara sampai dia tidak bisa jalan selama tiga bulan. Tapi saya salut padanya, tidak sedikitpun ia muak dengan saya, yang notabene Jawa indeed ini.
Lalu ia bercerita di pedalaman Papua banyak anak-anak yang parasnya rupawan, hasil begajulan tentara dengan perempuan setempat. Tapi mereka tidak mengenal siapa ayahnya, karena ayah mereka memang tidak tahu, atau tidak mau tahu.
Peristiwa ini rupanya terjadi secara masif dan Benny mengangkatnya sebagai reportase yang dimuat di majalah Tempo, sekitar akhir 90an.
Reportase dengan pendekatan teologis ini meyakini bahwa anak-anak yang hidup tidak mengenal ayahnya, akan mengalami perkembangan jiwa yang tidak seimbang.
Mereka cenderung labil dan ada yang beda dibanding anak-anak lain yang mengenal kedua orang tuanya.
Saya dengan cepat menyahut, "saya lama terpisah dari ayah, apakah saya terlihat tidak beres?"
Ia menjawab dengan bijak, "tidak semua seperti itu, saya rasa kamu tidak begitu toh?"
Saya, "semoga tidak,"
Benny, "jangan ragu begitu jawabannya, pasti kamu bertumbuh dengan baik,"
Saya ragu?
Entah ya..pertanyaan ini terlalu sering tertanam di otak saya. Saya memang merasa ada ruang kosong di jiwa, dan jelas bukan karena kekasih hati dengan cinta romantis.
Ragu karena saya memang aneh. Bagaimana mendefinisikan hubungan saya dengan ayah dan ibu saya, saya juga tidak mengerti.
Ketika memutuskan hidup mandiri, diam-diam juga ada rasa sesal. Rasa ingin pulang, tapi pulang kemana?itu bukan rumah orang tua saya.
Ketika menjelang makan siang, saya akan bertanya singkat pada ayah, "lagi ngapain pa?"
Yang penting ada jawaban, saya puas.
Kala beliau menelepon, saya kesal karena ia tidak kunjung mendengar ucapan saya dan mengajukan pertanyaan yang sama setiap saat. Saat ia menutup telepon, air mata mengalir karena saya merindukannya..dan tidak pernah terucap saya merindukannya.
Tenggorokan ini selalu kering untuk mengungkapkan betapa saya menyayangi ayah, sekering bayangan tentangnya yang menemani saya tidur saat masih kecil.
Saat dekat kami terdiam, saat jauh saya selalu bertanya sedang apa dia.
Dibalik "kenormalan" saya, inilah jawaban dari ketimpangan perkembangan jiwa yang Benny maksud.
Saya hanya berharap suatu saat dapat memaafkan masa lalu dan diri sendiri..sebelum kesempatan itu tertutup, saya bisa mengucapkan, "saya menyanyangimu papa..."
Judul di atas merupakan judul reportase yang dilakukan seorang kenalan asal Papua, Benny namanya.
Saya bertemu dengannya minggu lalu di 1809, nomor ini memang dunia Avatar.
Saya bingung juga memulai pembicaraan, padahal dia kan saudara -yang katanya satu bangsa-kenyataannya dia lebih asing daripada bangsa barat.
Mati-matian belajar bahasa Inggris, berangan bisa bahasa Jerman, tapi embuh dengan bahasa saudara sendiri. Saya ini contoh propaganda P4 yang gagal.
Kembali ke Benny. Ia senang sekali menceritakan kondisi di Papua, pulau yang pernah saya lihat di peta saja. Sejak bergabung dengan aliran ekstrem 1809, cerita miring soal "keIndonesiaan" ini membayangi saya.
Saya hanya termangu saja mendengar Benny bercerita bahwa bangsa Jawa, bangsa yang mengalirkan darahnya dalam tubuh saya, menindas habis-habisan di tanah paling timur Indonesia.
Perkosaan, penculikan, pembunuhan, semuanya terjadi atas prakarsa tentara Indonesia, dan mayoritas bangsa Jawa.
Benny sendiri pernah mendapat "kenang-kenangan" dari tentara. Lututnya ditimpa kaki meja dan diduduki oleh beberapa tentara sampai dia tidak bisa jalan selama tiga bulan. Tapi saya salut padanya, tidak sedikitpun ia muak dengan saya, yang notabene Jawa indeed ini.
Lalu ia bercerita di pedalaman Papua banyak anak-anak yang parasnya rupawan, hasil begajulan tentara dengan perempuan setempat. Tapi mereka tidak mengenal siapa ayahnya, karena ayah mereka memang tidak tahu, atau tidak mau tahu.
Peristiwa ini rupanya terjadi secara masif dan Benny mengangkatnya sebagai reportase yang dimuat di majalah Tempo, sekitar akhir 90an.
Reportase dengan pendekatan teologis ini meyakini bahwa anak-anak yang hidup tidak mengenal ayahnya, akan mengalami perkembangan jiwa yang tidak seimbang.
Mereka cenderung labil dan ada yang beda dibanding anak-anak lain yang mengenal kedua orang tuanya.
Saya dengan cepat menyahut, "saya lama terpisah dari ayah, apakah saya terlihat tidak beres?"
Ia menjawab dengan bijak, "tidak semua seperti itu, saya rasa kamu tidak begitu toh?"
Saya, "semoga tidak,"
Benny, "jangan ragu begitu jawabannya, pasti kamu bertumbuh dengan baik,"
Saya ragu?
Entah ya..pertanyaan ini terlalu sering tertanam di otak saya. Saya memang merasa ada ruang kosong di jiwa, dan jelas bukan karena kekasih hati dengan cinta romantis.
Ragu karena saya memang aneh. Bagaimana mendefinisikan hubungan saya dengan ayah dan ibu saya, saya juga tidak mengerti.
Ketika memutuskan hidup mandiri, diam-diam juga ada rasa sesal. Rasa ingin pulang, tapi pulang kemana?itu bukan rumah orang tua saya.
Ketika menjelang makan siang, saya akan bertanya singkat pada ayah, "lagi ngapain pa?"
Yang penting ada jawaban, saya puas.
Kala beliau menelepon, saya kesal karena ia tidak kunjung mendengar ucapan saya dan mengajukan pertanyaan yang sama setiap saat. Saat ia menutup telepon, air mata mengalir karena saya merindukannya..dan tidak pernah terucap saya merindukannya.
Tenggorokan ini selalu kering untuk mengungkapkan betapa saya menyayangi ayah, sekering bayangan tentangnya yang menemani saya tidur saat masih kecil.
Saat dekat kami terdiam, saat jauh saya selalu bertanya sedang apa dia.
Dibalik "kenormalan" saya, inilah jawaban dari ketimpangan perkembangan jiwa yang Benny maksud.
Saya hanya berharap suatu saat dapat memaafkan masa lalu dan diri sendiri..sebelum kesempatan itu tertutup, saya bisa mengucapkan, "saya menyanyangimu papa..."

Lucu mendengarnya: "aliran ekstrim" di 1809, dan nomor ini pun hanya dikenal dalam "dunia avatar". Hahaha... Nice writing!
BalasHapushehe..makasih. Jadi enak nih.Baru ngeh, yang bener "ekstrim" ya bukan "ekstrem"?
BalasHapusTernyata rajin upload naskah! baru ngeh juga. hehehe....
BalasHapusnaskah apaan? yang kerjaan kantor? iya, soalnya buat portofolio juga..xixi, i like it
BalasHapus