Refleksi

12.25, senin 4 Januari 2010.
Sejak saya bekerja, setengah jam sebelum dan sesudah 12.25 dilabeli dengan "istirahat"
Saya membuka lagi blog ini, menyusur blog-blog yang saya ikuti, membaca,tersenyum saat membaca blog seorang ayah yang bercerita tentang anak semata wayangnya.
Entah karena ia khatam dalam menulis, atau kentara betul sisi kebapakannya, maka cerita itu menjadi hidup, dan saya terlena.
Jelang pergantian tahun, saya dan kawan-kawan ada di rumah 'ayah' itu. Kami menghabiskan waktu sebelum tengah malam dengan berdiskusi, berolahraga, dan saat tahun baru tiba, kami menonton pesta kembang api dari ketinggian lantai 18.
Saya menghubungi seseorang, muka lama di tahun baru, sekadar mengucap "Hepi new year"
saat mengakhiri percakapan, momen itu menjadi noda dalam sekian jam yang sempurna.
Ada harapan di tahun baru, selalu..Ia seperti buku tulis yang kosong, sekaligus mengabarkan dosa-dosa kita diampuni dan ada kesempatan. Benarkah?
Lambat-lambat saya memikirkan langkah sepanjang tahun lalu yang seolah sangat 'jadul' itu, apa saja yang saya dapatkan.
Memasuki awal 2009, saya resmi memasuki fase sebagai lulusan baru anak kuliah. Berarti saatnya saya bekerja, menyambung hidup, mengisi waktu, intinya 'melanjutkan hidup sesuai dengan kemampuan dan nasib'.
Saya bekerja dari satu tempat ke tempat lain, hingga menjadi pengangguran di medio Juni. Mulai lah masa-masa kegelapan, roda sedang diputar ke bawah, jalanannya lumpur pula.
Saya hanya bertekad, sebelum tahun ini habis, saya harus mandiri, bekerja.
Datanglah bulan November, saya memperoleh pekerjaan, yang saya butuhkan. Semangat saya kembali, harga diri saya merangkak, dan hari menjadi lebih indah. Tidak sampai disitu, saya diberi kesempatan untuk meraih keinginan saya bekerja di satu tempat, semakin dekat dan semakin dekat.
Saya memaknai tahun baru ini sebagai tahun yang terindah seumur hidup. Optimisme merebak.
Namun saya juga merasa ada yang hampa, yah, satu per satu teman juga menjauh. Terpisah oleh rutinitas, sementara tempat aktivitas saya tidak ubahnya panggung sandiwara.
Ketika malam menyergap, saya harus akrab dengan soliter. Dulu itu tidak masalah, kenapa sekarang saya ketakutan?
Adapun saya tak bisa berbohong, tidak ada yang kedua untuk siapapun yang menorehkan luka
Itu salah, arogan, dan mengurangi kebahagiaan..tapi bisa apa? saya bertahan dari gempuran kekecewaan dengan rumus pribadi,
Rasakan-Beku-Torehkan..Saya tidak memaafkan, apalagi melupakan.
Tidak membawa kedamaian, karena itu dalam setiap tes kepribadian, dengan pasti saya menjawab..saya bukan diplomat.
Komentar
Posting Komentar