Street Art Performance


Tumben, jam 6 pagi saya sudah berdiri di halte (maksa), pertigaan jengkol, Joglo, Jakarta Barat.

Apalagi kalau bukan saya harus jibaku untuk sampai tepat waktu di kantor, kawasan TB Simatupang.

Sudah menjadi prestise bagi kata "macet", hingga ia mendapat perlakuan khusus dari pengguna jalan. Juga angkutan umum. Inilah saatnya dia pegang kendali untuk menentukan masa depan penumpang, selamat dan sampai tujuan.

Tuhan maha adil

Sebagai aliran angkot mania sejak sekolah, saya ibarat tubuh dengan kakinya. Nggak ada angkot, ya nggak jalan. Kelar urusan.

Namun angkot ini juga pedang bermata dua, satu sisi saya setengah mati membencinya (kelakuan awak bus), namun setengah hidup menantinya.

Seperti pagi ini. Saya menunggu Kopaja 70 jurusan Blok M. Kopaja ini jenis bus ukuran tanggung yang harus diwaspadai. Kelakuannya edan, kalau macet, dia bisa nekad ambil jalan lawan arah. Kalau ditutupi jalannya, makian multi bahasa muncrat dari mulut sopir. Tapi dia cuek bebek kalau menutupi badan jalan. Kalau jam sibuk, tampak luar bus ini tidak ubahnya seperti sarden. Sesak dengan penumpang. Ini yang paling saya sebal, suka menurunkan penumpang seenak kepalanya! Kebiasaan ini sudah berlaku sejak jaman Lupus, era 80an. Bayangkan, kita sudah duduk enak, belum sampai tujuan diturunkan paksa, berganti bus dan kita tidak mendapat tempat duduk. Sopir bus benar-benar keparat saat hal itu terjadi.

Demikian bencinya, saya jadi perhatian dengan polah angkutan ini. Rangkumannya kurang lebih begini :

Supir bus selalu ditemani dengan "kenek" yang bertugas meneriakkan rute, menggiring penumpang, meminta bayaran, asisten pribadi supir, hingga menjadi pagar hidup untuk bus saat membutuhkan jalan pintas.

Perjalanan pulang pergi, dikenal dengan sistem "Rid". Supir dan keneknya mendapat jatah satu rid, lalu akan bergantian dengan supir plus kenek lain. Pergantian ini terjadi di tempat mangkal tertentu. Setiap pergantian supir mendapat bayaran, saya tidak tahu persis, tapi saya menerka sekitar Rp. 6000 untuk supir.

Setiap bus punya nomor, seperti 30, 80, dan seterusnya. Entah ada peraturan apa, namun setiap bus punya estimasi waktu kedatangan dan jarak antar bus. Misalnya bus dengan kode 30 seharusnya berjarak jauh dengan 80. Kalau terlalu dekat, sial lah penumpang bus 30. Kalau tidak ngetem lama banget, ya jalannya kayak kura-kura AKA lamaa...

Kopaja tidak lengkap rasanya tanpa kehadiran pengamen, penjaja tissue, koran, aksesoris, pengemis, dan kawan-kawan.

Begitulah, wajah angkutan umum Jakarta yang secara emosional melelahkan dan jauh dari kata nyaman. Siapa yang mau disalahkan kalau pengemudi angkutan umum jadi beringas, penumpang dan pengendara kendaraan pribadi ikutan beringas.

Hukum yang berlaku di jalan raya bukan hukum lalu lintas, tapi hukum alam, siapa yang kuat dia yang menang.

Sedangkan saya percaya kondisi fasilitas umum adalah cerminan masyarakatnya. Kala ia tidak terawat, rusak, berarti masyarakatnya bermental idem.

Begitu pula perlakuan masyarakat di jalan raya. Berlomba siapa paling cepat, tidak mengutamakan etika, rasa manusiawinya ambruk, memarjinalkan yang lemah, berorientasi pada uang. Artinya??

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya