Tujuh Jam di Bali


Akhir Mei 2009, saya melakukan perjalanan dinas ke Mataram. Perjalanan kali ini saya sambut dengan duka cita, mendalam! Karena saya pergi dengan rekan kantor yang saya anggap virus.

Tapi apa daya, pekerjaan adalah pekerjaan. Saya nyaris menangis waktu saya tahu pesawat akan transit di Bali kurang lebih tujuh jam. Sinting apa? Saya tidak tahu harus mengatakan sinting pada maskapai penerbangan, atau pada saya yang tidak bersyukur berkunjung gratis ke Pulau Dewata nan tersohor ini.

Berangkat dari Jakarta pukul 06.10 WIB, saya tiba di Denpasar pukul 08.25 WITA.

Pelajaran pertama : jangan lupa rubah jam begitu sampai tujuan.

Selesai lapor pada petugas check-in, ayah saya menelepon, dan membawa kabar maha dashyat : “kamu sudah dijemput sama sahabat Tante Jung di depan bandara. Jadi kamu bisa jalan-jalan dulu”.

HOREEEEEEE...Saya di Bali...BALIII...BALIIII!!

Seketika langkah saya ringan, denting musik tradisional Bali terdengar merdu, bau dupa serasa bau parfum Body Shop, turis asing yang berkulit kemerahan tiba-tiba senyum semua sama saya. Haah, dengan sombong saya tinggalkan virus keparat itu di bandara. Whoopie..

Sekadar info, ini adalah kali pertama saya pergi ke Bali. Terdengar nelangsa? Bisa jadi. Karena anak seumuran saya sangat biasa ke Bali. Paling mentok lewat Study Tour waktu sekolah. Tapi saya boleh bangga, karena saya ke Bali dengan usaha sendiri. Lagi-lagi urusan dinas, tapi dinasnya wartawan, A.K.A melancong.

Uniknya lagi, beberapa jam sebelum saya tiba di Denpasar, teman perjuangan travel-adalah-tujuan hidup- saya, baru saja meninggalkan Denpasar. Sama-sama dinas, dan bagi kami, ini adalah mimpi yang terjawab. Saya menelepon dia dan kami berteriak kegirangan dengan loncatan hidup kami.

Akhirnya saya berkenalan dengan anak sahabat tante saya, Dessy namanya. Logat bicaranya khas Bali sekali, dengan melafalkan huruf “T” seperti menekan lidah. Ditemani ayah dan sopirnya, saya diantar ke rumahnya didaerah Batu Bulan. Sepanjang jalan, saya tidak konsen diajak berbicara.Saya sampai meminta maaf dan mengaku sangat antusias melihat-lihat karena belum pernah ke Bali. “Kasian sekali”, komentar yang akan sering saya dengar selama dinas.

Selesai makan pagi (menjelang siang), Dessy mengantar saya berkeliling. Tujuan pertama, Pantai Kuta. 30 menit naik sepeda motor, saya sampai. Wah, indah!
Saya baru tahu pantai Kuta adalah pantai yang tidak dibatasi oleh kepentingan privat. Siapa saja boleh masuk dan tanpa bayar! Hal yang sangat jarang saya temui di Jakarta. Berseberangan dengan pantai kuta ada HardRock Hotel, lokasi foto narsis favorit.

Matahari sedang senang-senangnya, saat itu jam 12.00 siang, wuihh..males deh nyemplung ke air. Tapi saya tetap mencelup kaki, kapan lagi ke sini?

Who cares? sepertinya semboyan daerah pantai Kuta. Turis asing atau lokal, baik dari ras bule, atau Asia, berpakaian sekenanya. Tak peduli tubuh pantas atau tidak, minim bahan sah-sah saja. Kebanyakan tampak siap memamerkan tubuhnya. Yang perempuan bersih dari aneka bulu. Kaki mereka mulus, dan mengkilat, bekas waxing. Kuku kaki mereka di cat merah menyala, bergairah. Kulit mereka sudah kemerahan, hasil dari berjemur.

Laki-laki asing harus bersaing ketat dengan laki-laki lokal, terutama yang berprofesi sebagai peselancar. Bukan rahasia perempuan bule kesengsem berat dengan laki-laki berkulit cokelat (istilahnya sun kissed look), perut six pack, dan berwajah eksotis, asli Indonesia. Bawa papan selancar, mereka ibarat Jude Law.

Penduduk sekitar juga ketiban rezeki. Mereka menjual kerajinan tangan, aksesoris, jasa memijat, men tattoo temporer, atau kepang rambut kecil-kecil.

Puas di pantai Kuta, saya menuju ke Ground Zero, daerah Jimbaran. Ternyata hanya beberapa blok dari Kuta.

Ground Zero dibangun di lokasi ledakan bom Bali 2001. Monumen yang sedianya sebagai pengingat dan penghormatan ini berbentuk nisan besar yang terukir nama-nama korban. Teman saya berpesan, di daftar korban Indonesia, nomor sembilan, namanya sama seperti nama teman saya. Benar juga.

Saya terperangah dengan jumlah korban yang banyak itu. Saya tidak mengira, ketika didaftar, terlihat tujuan teroris ke Bali menuai sukses. Tapi hanya sementara, karena delapan tahun berlalu, turis tetap memadati Bali.

Baru di Bali, saya dapati butik Christian Dior cuma toko kecil yang piece a cake. Coba di Jakarta, butik ini hanya ada di mal-mal besar untuk kaum berduit.

Selesai berpelesir di daerah Jimbaran, saya menuju pasar Sukowati untuk membeli souvenir. Sampai disana, saya baru ngeh, ciri khas Bali sudah dibajak semua. Saya sampai bingung mau beli apa, karena semua souvenir dengan mudah ditemui di Jakarta.
Dessy bercerita, hari itu adalah hari kliwon, jadi pemeluk agama Hindu akan pergi ke Pura untuk sembahyang. Pantas saja disetiap pura, berjejal-jejal sesajen yang dibungkus daun. Tinggal lah anjing-anjing kintamani yang lucu berpesta sesajen.

Tidak terasa, saya harus kembali ke bandara untuk meneruskan perjalanan ke Mataram. Ada rasa kurang puas karena belum habis mengeksplorasi. Kini saya menyesal, kenapa nggak nginep aja sekalian? Hehe..

Sepanjang perjalanan menuju bandara, saya melihat muda-mudi, orang tua menggandeng anaknya, berpakaian adat dengan membawa sesajen di kepalanya (untuk perempuan). Saya jadi ingat kata guru Antropologi waktu SMA. Dia mengatakan bahwa alam Bali sebenarnya biasa-biasa saja, tapi Bali menjual budaya yang lekat dalam masyarakatnya. Maka jangan pernah menyepelekan kebudayaan.

Saya sepakat.

Komentar

  1. tak kan terlupa momen ini, kita berada dalam satu tempat, hanya saja tidak di waku yg sama!!! tapi kan tetep BALI gitu loh!!!!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya