Mari Bepergian
Kalau saya disuruh menyebutkan hobi, maka jalan-jalan adalah kata terakhir yang terlintas dalam pikiran saya. Jalan-jalan ini bisa segala situasi, baik dalam kota atau luar kota, atau sekadar ke toko buku.
Saya tidak bisa bilang benci, walaupun jalan-jalan juga so-so. Mungkin karena hampir setiap tahun saya berkunjung ke sanak saudara di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, bepergian ke luar kota menjadi rutinitas belaka.
Memasuki pertengahan tahun 2008, saya akrab dengan teman kuliah yang menjadikan bepergian adalah tujuan hidupnya. Saking ngebetnya, alasan memilih bidang jurnalistik simpel saja : wartawan kan biasanya jalan-jalan…
Jalan hidup mengantarkan kami pada ranah jurnalisme. Teman saya bernaung di media berlambang elang yang menatap galak (selanjutnya kami juluki elang sombong). Sedang saya, menjadi reporter sebuah majalah in-flight maskapai anak tiri milik pemerintah.
Bulan pertama bekerja, sekitar akhir Maret 2009, saya mendapat dinas liputan ke Bandung. Saya menginap di hotel Aston, Braga. Wah, kapan lagi nginep di hotel bintang empat begini. Sasaran saya jelas, makan enak!!
Sarapan adalah surga. Aneka roti, jus, sausage, sushi, ommellete, tinggal comot. Kerjaan saya mondar-mandir bawa piring kosong.
Saat saya bertugas, tidak ada konsep yang jelas liputan seperti apa yang diinginkan. Jadilah saya serta fotografer hunting bahan tulisan yang unik dan mencerminkan Bandung tea.
Kami menyimpulkan, Bandung identik dengan Factory Outlet, makanan, dan bangunan tua bersejarah yang masih terawat.
Sesiangan saya menyusuri kawasan Braga. Jalan Braga berjaya saat era kolonial. Dulu, kawasan ini merupakan pusat pertokoan mewah. Saya membayangkan noni-noni Belanda dengan rok panjang dan megar, berjalan anggun di sepanjang trotoar. Hingga saat ini, jalan Braga masih terlihat keasliannya. Jalanan tidak di aspal, namun dengan blok-blok. Lampu sepanjang trotoar juga bergaya Eropa. Trotoar di tutupi ubin merah bata dan lengang. Pedagang lukisan berjajar menjual dagangannya. Jalan Braga jadi berwarna dengan aneka lukisan.
Selanjutnya kami ke perempatan Asia Afrika. Saya baru sadar di kawasan ini bukan gedung Asia Afrika saja yang tua, namun juga gedung di sekelilingnya. Ada apotik Kimia Farma, hotel Savoy Homann, Gedung Bank BNI, sebuah gedung tak bertuan, namun terawat. Ada sebuah bangunan yang bernama “Sarinah”. Namun, gedung ini sudah menemui ajalnya. Sebentar lagi bangunan ini akan diambrukkan, dan diganti dengan pertokoan modern, klise.
Rumah jabatan gubernur Jawa Barat juga bangunan warisan pemerintah kolonial. Saya semakin takjub dengan arsitektur Eropa yang kokoh. Sudah berabad-abad, namun masih berdiri mantap. Perhitungan yang akurat dan penggunaan material pilihan adalah sendinya. Disiplin bangsa Eropa merasuk dalam setiap karyanya. Pantas mereka bisa menjajah sampai kemana-mana.
Selanjutnya perburuan saya berganti menjadi perburuan kaum Fashionista, bertandang dari satu FO ke FO lain. Saya sampai jeleh liat baju. Heran, orang-orang pada betah banget meniti satu baju ke baju lain. (bisa jadi saya juga betah, asal keuangan mendukung, hehe).
Liputan saya berakhir dengan wisata kuliner. Dihadapkan dengan se-tampah menu spesial khas restoran Sapu Lidi, nafsu makan saya terbit. Ditemani lilin-lilin mungil, saya makan sambil ditemani angin senja Bandung.
Menjelang tengah malam, saya tiba di Jakarta. Saya masih sempat terpikir betapa menyenangkan bepergian ke kota lain. Kenapa dulu saya tidak tertantang, mungkin karena saya kebanyakan pergi dengan keluarga. Layaknya keluarga, pasti kita makan enak, belanja banyak, tempat yang dikunjungi juga itu-itu lagi. Rasanya berbeda bila saya pergi sendiri, dan dengan uang sendiri (lebih tepatnya uang dinas).
Sejak saat itu, tanpa ragu saya bergabung dengan teman saya yang gandrung jalan-jalan duluan. Ya teman, jalan-jalan adalah tujuan kita!!
ya, mari kita menapaki tiap jengkal daratan!!!
BalasHapusbtw, sepertinya ke purwokerto gw bisa bergabung nih, yippie!!!
smua oh smuga!!!!