Kawan Lama Datang Bercerita


Sabtu, 9 Mei 2009, bersemangat melangkah ke haribaan almamater. Kawasan Lenteng Agung menjadi asing sejak saya berpindah ke tempat yang tidak kalah asing.

Ditengah jalan, pesan singkat masuk : hari ini libur jeng..

Kampret! tapi tidak masalah, kawasan Depok adalah daerah yang saya kenal, masih banyak area selain Kampus. Saya merubah pertemuan dengan satu teman saya di pusat perbelanjaan berkonsep street mall.

Menghabiskan sore dengan bertukar cerita. Saat ini, masa lalu, atau harapan..bebas saja tanpa terpancang dengan plot. Sesekali termangu dengan pasangan bermasyuk rasa, membangkitkan satu ruang hati yang dipaksa bisu.

Malam hari jadwal saya bertemu dengan teman-teman pria. Dua diantaranya bekerja sebagai wartawan di harian Rakyat Merdeka milik Jawa Pos Grup, satu orang berdebar menanti hasil tes sebagai tenaga freelance di harian Kompas, dan satu orang terakhir sedang tertatih menghadapi dosen pembimbing yang sama dengan saya dulu saat skrpisi.

"Ibarat kawan lama datang bercerita", ungkapan yang sering dipakai untuk menunjukkan keunggulan sebuah aliran jurnalisme baru. Tapi bagi saya, malam itu tidak ada kata "ibarat", malam itu saya antusias bertemu dengan teman-teman lama saya, yang akan membawa segudang cerita asyik.

Pria ini memang terlahir nyentrik, alih-alih berantakan. Dewa adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Saat melihat foto keluarga nya di ruang tamu, Saya tertawa melihat Dewa yang kulitnya paling kelam diantara semua anggota keluarga.

Saya mengenal Dewa saat kuliah semester delapan. Saya benci berat dengan hobinya pada reptil. Dia rela membawa ular kesayangannya kuliah, tinggallah saya merepet karena saya takut ular.

Rambutnya keriting awut-awutan, memakai kacamata minus, cincin-cincin batu di jarinya, Kalung taring babi hutan, dan pipa rokok yang terbuat dari tanduk rusa adalah aksesoris wajib. Selera rokoknya juga invalid, merk MS yang "Mirip Samsoe", satu slove harganya 24 ribu rupiah. Cadas..

Dewa obsesi dengan Jim Morrison, musikus anti kemapanan, maka dia menolak harta benda mewah. Tapi biaya makan koleksi reptilnya sekali makan sama dengan uang saku saya satu minggu.

Satu lagi obsesinya, perempuan. Dewa begundal kalau urusan perempuan..pantang mundur walau sering ditolak, tidak lelah mencari pasangan, dan ritual pernyataan cintanya penuh dengan ide-ide orisinil.

Sekali waktu Dewa ikut acara "Katakan Cinta" yang konsepnya menyatakan cinta dan disiarkan oleh RCTI. Dewa sukses mendapat kekasih, dan meraih penghargaan sebagai "Pejuang Cinta Terfavorit".

Kehadirannya pasti dinanti oleh kami, teman sepermainannya. Walau dia diam, sudah membuat kami tergelak, apalagi kalau dia berulah.

Kini, Dewa menekuni dunia jurnalisme sebagai wartawan desk kesehatan, harian Rakyat Merdeka. Dewa tidak pernah malu untuk mengakui bahwa dia adalah wartawan yang gemar menerima amplop. Gaji yang diterima kurang memadai, dan moral Dewa baal untuk mempertanggungjawabkan tulisannya kepada publik.

Saya bertanya dalam hati, dimana semangat anti kemapanannya dulu? gaya hidup nya yang nyentrik tidak cukup untuk menjamin idealisme.

Malam itu Dewa bercerita bahwa dia mulai jarang masuk kantor. Dia memperlihatkan pada saya materi liputan yang masing-masing ada harganya.

" 250, 200, 250..700 lumayan buat beli uler king snake" saya hanya menyahut, "bodoh".

Dewa kembali bercerita, dia semakin malas bekerja. Partner kerjanya semakin mengganggu, dan teman baiknya -yang teman saya juga- sudah mengundurkan diri. Dewa akan sendiri di kantor Jawa Pos Grup.

Jawa Pos Grup, nama ini memang jaminan kontroversi. Mesin media yang menghasilkan berita bombastis. Konsistensinya membuahkan hasil. Menjual mutu rendah, dan Jawa Pos Grup memiliki tempat di hati pembacanya yang kebanyakan golongan menengah ke bawah.

Saat kuliah, beberapa produk Jawa Pos Grup menjadi langganan contoh kasus dosen etika komunikasi, dan teknik dasar penulisan jurnalistik.

" Yellow Paper, menyalahi kaidah jurnalisme, Judul tidak efektif, bias, bobrok"

Saat ini, banyak lulusan kampus saya bernaung di bawah Jawa Pos Grup.

Dewa sebenarnya terusik dengan kondisi kantornya yang tidak malu-malu menerima suntikan dana dari nara sumber. Bagaimanapun Dewa pernah bersekolah jurnalistik, yang mengharamkan campur tangan pengganggu independensi wartawan. Dewa juga masih punya hati, berteriak salah dengan penyuapan. Namun, suara hati bungkam juga.

Awal Maret 2009, saya berkunjung ke kantor Jawa Pos Grup. Teman saya mengajak ke kantin yang terletak di belakang gedung. Selain kantin, lapangan parkir juga terletak di sini. Sambil berjalan teman saya menunjuk deretan mobil yang terdiri dari Jaguar, Camry, Land Cruiser.

Teman saya tersenyum kecil.

Agak tersembunyi, saya terkejut melihat mobil van putih, dengan lambang kepala Garuda yang menatap galak, dibingkai segi lima, dan ada angka '5' di atasnya.

"Kenapa mobil Gerindra bisa di sini?", teman saya menjawab bahwa Rakyat Merdeka di beri modal yang besar supaya memberitakan Gerindra secara positif.

Saat ini, teman saya mengundurkan diri dari Rakyat Merdeka. Dia memilih pindah menjadi wartawan hiburan.

Ricko namanya. Berkarier di Rakyat Merdeka dia mulai dari desk Properti. Dua bulan kemudian -februari 2009- Ricko mengalami rotasi ke desk politik.

Bulan Februari 2009 adalah bulan hingar bingar politik. Pemilu legislatif akan digelar Bulan April. Partai politik sibuk berkampanye.

Bila Ricko berjiwa Jawa Pos sejati, dia akan gembira ditempatkan di lahan basah pada saat yang tepat. Namun Ricko berjiwa sebaliknya.

Desk politik dia gambarkan sebagai neraka. Uang dari partai-partai peserta politik deras mengalir. Wartawan menjadi orang penting. ada berita asal ada uang.

Ricko menyerah, dia memilih menjadi wartawan dengan berita nggak mutu sekalian, daripada terus-terusan melakukan pembohongan publik.

Sekali lagi saya merenung.

Dunia nyata menyediakan sedikit ruang untuk idealisme. Teman-teman saya bergulat dengan idealisme nya. Membungkam, berpaling, atau melawan.

Kawan lama datang bercerita..memang tidak ada yang lebih mengasyikkan.

Komentar

  1. sebuah tulisan yg menggugah, idealisme sebagai satu-satunya kemewahan yg 'seharusnya' masih bisa kita nikmati. mumpung, kebutuhan berbasis ekonomi belum terlalu mengambil alih hidup kita, mumpung kita masih bisa congkak dengan segenggam kebanggan yg mungkin aneh bagi orang lain. mari kita nikmati rasa dari harga diri ini kawan, mumpung kita pun belum tertular virus kebutuhan, mumpung belum ada yg terpaksa ikut menderita saat kita ngotot mempertahankan idealisme. entah berapa lama lagi waktu berharga ini bisa kita nikmati, jika saatnya tiba, bisa jadi tak ada lagi rasa malu di sanubari kita, barang setitik pun..

    BalasHapus
  2. Ngomong-ngomong, tulisan ini bisa menjadi contoh dari tulisan yang tidak ada fokus. Akibat dari ngak bikin outline, hehe..

    Entah apa yang mengusik, kehadiran media nya, atau idealisme kawan-kawan kita yang tercoreng, tapi satu yang pasti, hal ini cukup menjadikan cermin untuk saya,

    apa saya benar-benar siap menceburkan diri sebagai jurnalis?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya