Angle

Kamis, 14 Mei 2009
Bentara Budaya Jakarta menggelar acara musik, mulai di galakkan, tiap kamis setiap minggu, atau rabu malam.
Kamis malam ini giliran duet Dewa Budjana dan Tohpati. Dua gitaris ternama Indonesia.
Maka saya hadir, atas nama liputan dan ingin tahu. Pengalaman saya menonton di Bentara Budaya adalah disiplin waktu. Mulai pukul 19.30, ya mulai pukul 19.30..selesai jam 21.00, sesuai dengan yang dijanjikan.
Pantas saja induk semangnya tumbuh besar seperti sekarang.
Tiba pukul 18.45, ruangan hampir penuh. Deretan kursi sudah ada yang punya. Kali ini pegelaran diadakan di dalam ruangan. Untuk mengakomodasi format akustik yang minim volume mungkin.
Saya duduk lesehan dan merepet dalam hati, "terus ngapain tadi gue bela-belain tuker sepatu akhirnya dibuka juga?"
19.30, MC memberi pembukaan singkat, dan tidak lama memanggil bintang malam itu..lho kok nggak muncul?
Sekali..dua kali..diam..panggil lagi..
Akhirnya datang juga!!
Saya langsung jatuh cinta dengan Tohpati. Baru kali ini saya bertemu langsung dengan dia, dan ternyata Tohpati jauh lebih tampan bila dilihat asli. Nggak seculun di tv
Pantesan Krisdayanti doyan.
Tanpa bicara, Dewa Budjana dan Tohpati langsung mengambil gitar masing-masing, dan bermain..begitu saja.
Jujur saya bukan penikmat musik keduanya, tapi saya menikmati keindahan rupa Tohpati..edaan, keren banget dah!
seperti layaknya setting panggung, tata lampu juga difokuskan pada pemain, sehingga area penonton gelap.
Di tengah-tengah acara, ada bayangan yang mengganggu saya.
Sosok tinggi, membawa kamera SLR, berdiri di samping kanan dari arah saya. (berarti ada di samping panggung)
Kenapa ya, kok kayaknya saya kenal sama orang ini? benarkah perasaan saya bahwa dia fotografer senior milik induk Bentara Budaya?
Perhatian saya jadi teralih pada sosok itu dan kegiatannya.
Rambut tersisa 2 cm, berkacamata dengan bingkai sporty, tubuhnya tinggi dibungkus dengan kaos oblong abu-abu, dan celana kargo coklat tua.
Tubuhnya terbilang atletis, tapi perutnya, hmmpfff..menunjukkan gejala penuaan laki-laki.
Dia membawa kamera SLR dengan satu lensa tambahan. Itu saja, simpel sekali. Saya sering melihat fotografer membawa-bawa peralatan lebih repot, gayanya lebih meyakinkan, tapi motretnya begitu-begitu lagi.
Orang ini memotret dari sisi yang kurang menguntungkan, karena objek terlihat dari samping. Tapi dia tidak habis akal.
Neon box yang menghalangi, dia geser..dia risih dengan daun pohon buatan..Dia diam.
Dia tengok-tengok, akhirnya dia memakai tali gantungan kameranya untuk mengikat daun tadi. Lahannya bersih sekarang..
Kelebihan pegelaran musik ini adalah faktor kedekatan antara penonton dengan pemusik. Tidak ada jarak, protokol jaim, pokoknya santai.
Saat Budjana dan Tohpati bermain, dia diam. Saat selesai, barulah dia sibuk mengejar momen itu.
Akhirnya dia bergerak lagi..dia memperhatikan undakan yang cukup tinggi. Di atas undakan terdapat sound system yang hampir memenuhi undakan. Dia tetap ingin memanjat.
Dia buka kain penutup undakan..aman, cukup kokoh untuk dipanjat.
Perutnya yang cukup besar menghalangi langkah panjatannya yang pertama, dia jadi pusat perhatian karena terlihat konyol..tapi dia tak peduli, dia coba lagi..dia berhasil.
Kini dia sangat menonjol, sosok tinggi, menjadi paling tinggi satu ruangan, dan tetap dengan gayanya yang santai melihat duo gitaris bermain.
Sesekali dia mengganti lensanya, tanpa kerepotan..cakap benar.
Saya yakin, dia Arbain Rambey, seorang fotografer kebanggaan Kompas.
Dalam ruangan itu, lensa-lensa kamera SLR bermunculan di setiap sudut. Tapi tidak ada satu pun yang serepot Arbain. Dia menggeser, mengakali, mengikat, memanjat, mengintip, hanya demi memenuhi standar pribadinya.
Saya jadi semakin antusias memperhatikan kelakuan para juru potret ini.
Saya mulai menebak-nebak, mana yang fotografer baru, dan mana fotografer senior.
fotografer baru cenderung berada di tempat yang populer (misalnya di depan panggung),
kameranya juga keren, tidak berhenti memotret (tanda banyak yang blur barangkali),tidak berpindah tempat untuk mengeksplorasi sudut baru.
Tipe ini yang teman saya sebal.."kenapa fotografi jadi lifestyle".
Fotografer senior ya seperti Arbain itu.Tidak ketebelece, dan tetap skeptis pada diri sendiri.Dia tidak membiarkan larut pada nama besar,tetap habis-habisan, bahkan pada pagelaran yang tergolong smooth, bukan seperti foto jurnalistik.
Pagelaran selesai. Lampu dinyalakan, terdapat dua kerumunan.
Kerumunan Duo Budjana Tohpati, dan kerumunan Arbain Rambey.
Saya tetap memperhatikan dan sempat melihat dia memperlihatkan hasil fotonya pada beberapa fotografer muda. Rendah hati.
Saya pulang dan bercerita pada keluarga, betapa saya terkesan pada rupa Tohpati, dan profesionalisme Arbain Rambey.
Entah kenapa saya begitu terkesan. Mungkin karena menyentil pribadi saya yang malas belajar, dan memiliki standar profesional biasa-biasa saja.
Untuk mempertahankan rasa skeptis pada diri sendiri sangat sulit. Terlebih mengusung nama besar yang membuat semua orang menganggap hormat.
Sekali lagi saya bertemu dengan pribadi luar biasa. Mereka telah merasakan arti sebuah proses.
Esok hari, Harian Kompas menurunkan laporan pagelaran semalam, lengkap dengan foto.
Foto itu menangkap saat Budjana, Tohpati, dan penonton tertawa bersama-sama.
Sangat akrab, sisi human interest berhasil di suguhkan, sekaligus konsep acara tersebut.
Foto itu, sudut Arbain Rambey.
hebat
BalasHapusthanks..Arbain Rambey, Tohpati, dan Budjana memang hebat.
BalasHapus