Tuan Gubernur


Tuan Gubernur,

Sayang kita bertemu dalam kondisi yang tidak menyenangkan.

Andai saya boleh memilih, lebih baik saya tidak bertemu dengan tuan. Saya pilih mencari bangunan tua yang indah, untuk mengabadikannya.

22 April 2009, saya datang ke kota Bandung, untuk menyelesaikan pekerjaan. Melaporkan apa yang sudah diizinkan untuk dilaporkan. Termasuk didalamnya, mewawancarai pemangku jabatan nomor satu di Jawa Barat, Tuan Gubernur.

Saya tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sosok tuan Gubernur. Satu kesalahan besar seorang jurnalis (saya lebih senang menyebut calon jurnalis). Saya juga tidak mendapatkan fokus yang jelas, apa yang harus saya tanyakan pada tuan Gubernur.

Hati mulai berdetak kacau, gelisah, padahal kota Bandung berusaha menyenangkan saya.

Perjalanan ke Rumah Jabatan Tuan Gubernur, Pakuan.

Langit mendung menggantung rendah, semakin menyurutkan semangat. Sampai di halaman parkir, hujan mulai turun..becek..

Rumah jabatan rupanya peninggalan rumah zaman kolonial..seperti Istana Bogor. Kami diterima petugas protokoler, agak heran, birokrasi tidak seruwet biasanya. Duduklah kami diruang tamu, menanti..menanti tidak asing kalau berurusan dengan birokrat.

Ruang tamu itu bercat putih. Warna perabotan krem, di meja tamu ada kue-kue yang muncul saat lebaran. Tidak lama, tah panas datang, cangkirnya ada lukisan dengan tulisan "Istana Pakuan". Tuan rumah senang menjamu sepertinya.

Bangunan khas Belanda, langit-langit tinggi, dengan jendela besar, memastikan sirkulasi udara baik. Jadi saya merasa dua AC yang terpasang, percuma saja, alih-alih pemborosan.

Ajudan Tuan Gubernur datang, menanyakan daftar pertanyaan. Perut saya mendadak kaku. Kenapa saya harus ada di sini?

Tidak lama, kami dipersilakan ke teras istana. Saya jadi mikir, kebanyakan istana memiliki anak tangga untuk menghubungkan kita sampai teras. Representasi rakyat harus susah dulu untuk ketemu rajanya?

Sejuk di teras, tapi tetap panas buat saya. Mana sih tuan Gubernur?

Dia datang..Sosok nya sedang saja, sekitar 40 akhir, berjanggut khas pria muslim (belakangan saya tahu dia ada di bawah bendera parpol muslim), Tapi dia moderat, tak mengelak bersalaman dengan saya.

Tibalah bagian memalukan itu. Braaak..majalah itu dilempar acuh oleh Tuan Gubernur. Saya tahu apa yang dia rasakan.

Sebelumnya, saya sudah mengelak untuk bertemu dengan nya, karena misi lembaga saya tidak sebesar kapasitasnya. Sangat sepele, dan kita tidak perlu merepotkan Tuan karena ada suku dinas yang lebih pantas direpotkan urusan ketebelece macam ini.

Sekalipun benci birokrat, dalam hal ini saya setuju dengan tuan.Entah tulus atau tidak, dia tetap mencoba ramah dengan kami. Saya mengasihani diri sendiri, karena terikut bodoh oleh orang-orang bebal haus untung.

Tuan Gubernur pamit. Saya lega. Berpamitan dengannya, saya mencari pandangan terakhir, untuk melihat isi hatinya. Tuan Gubernur terkesiap melihat mata saya yang berbicara..Tuan, saya tidak sama dengan mereka.

Terdiam di tangga istana. Merasakan hawa sejuk Bandung. Tuan Gubernur..mengapa kita bertemu seperti ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Penting Cut Tari..!

Njelimet

Grace Kelly dan Kisah Dongengnya