Kalimantan sejarak lima senti
Take 1:
Hari ini, kitab pintar saya, sebuah suratkabar mapan, memuat hasil liputannya, mengenai perdagangan manusia antar negara, spesifik dengan Malaysia.
Kurang ajar sekali,ternyata negara kita dan negara tetangga tidak hanya satu rumpun, tetapi juga satu modus, sama-sama menjerumuskan bangsanya sendiri pada jurang perbudakan.
Benar juga kata Pramoedya, Indonesia adalah negara budak, budak bagi bangsa lain, dan budak bagi bangsanya sendiri.
Perdagangan manusia sudah tidak asing lagi. Tidak usah ditanya betapa sakti mandraguna jaringan tersebut. Membayangkan barang keluar toko saya kepala saya sudah pening, apalagi manusia, yang memiliki roh, kekuatan bertahan, dan melindungi diri, punya akal!mustahil..mustahil!
Akal saya mencerna, wah, ada yang nggak bener nih. Dari saya masih SMA, sekitar 8 tahun lalu, sudah samar saya dengar masalah dagang-dagangan ini. Pasti umurnya lebih uzur lagi, karena sejarah perbudakan setua sejarah manusia itu sendiri.
Dengan iming-iming pekerjaan, gaji yang menggiurkan, maka manusia polos dari pedesaan atau pelosok nusantara itu pun terjerat..rat!! Gadis manis namun apes itu akan digiring oleh beruk-beruk melayu ke perbatasan negara di Kalimantan. Namanya mirip dengan lafal Cina, Sentiong.
Selesai sudah.Mereka akan terjebak dalam lingkar setan perbudakan manusia versi modern. Sampai kapan? yeah, entahlah. Dunia kadang tidak adil kawan.
Hasil cerna akal saya adalah syak wasangka. Taela, thu orang-orang dodol juga. Udah tahu modusnya sama, orangnya itu-itu juga, ujung-ujungnya disiram air panas, masih aja percaya. Jangan-jangan mereka tahu, cuma pura-pura ngak tahu aja, huh, dasar serigala berbulu kucing anggora (soalnya saya suka kucing, bukan domba yuuk!)
Masa mereka g belajar dari pengalaman sekian warsa itu? sebegitu polosnya kah mereka? atau terlalu lama tidak menggunakan nalarnya karena tenggelam dalam rutinitas kongkow di pos ronda bis nyawah? Eh lha, gimana perbudakan ini mau ditumpas, lha wong ada hubungan saling membutuhkan disini. Simpel saja, hukum dasar ekonomi berlaku teman.
Keruan saja simpati saya tergerus oleh hasil cerna akal tadi.
Take 2 : kembali ke kehidupan nyata
Keponakan saya yang lucu ngompol. Lewatlah pengasuh barunya yang ayu, gres baru dateng dari Tegal. Trademark banget deh.
Dua orang pengasuh, muda belia, umur yang seharusnya dihabiskan dengan pergi ke sekolah-berharap cepat pulang-besok dateng pagi nyalin peer. Oh ya, manis juga, di make over, lebih oke dari saya.
Lama saya memperhatikan mbak-mbak ini. Lalu terhubunglah dengan bacaan yang baru saja saya buat kesimpulan.Waduh, mesti revisi nih.
Kesalahan dasar saya adalah empati.Kenapa saya melihat fenomena ini dari mata saya yang menyiratkan berlapis pertahanan diri? menyiratkan saya orang yang tidak bisa didikte, tahu segala, sampai sok lagaknya, pokoknya tipe wartawan gosip, nanya mulu.
Harusnya saya berempati. Melihat mata pengasuh ponakan saya cucok sekali. Mereka ini prototipe dari gadis-gadis malang di negara jiran sana. Pendidikan rendah, benar-benar tidak terbiasa memakai pikiran, jangankan inisiatif, saya curiga saking kosongnya, disuruh nyemplung sumur juga he-eh aja.
Mereka kurang beruntung karena mereka tidak bisa meneruskan pendidikan. Saya telah menjadi produk komunitas urban. Pendidikan sarjana telah saya icip. Hanya karena saya sarjana dan mereka esde, terbentang sudah jurang nasib yang kebangetan lebarnya.
Kesimpulan baru : perbudakan manusia tidak akan selesai bila sasaran perbudakan, dan aparat pencegah perbudakan tidak merubah pandangannya. Tidak melulu masalah ekonomi, memperketat jalur perbatasan, meninggikan gaji pejabat imigrasi, dan ketebelece. Tapi seluruh sektor sosial masyarakat harus dirubah!
Solusi khas konsultan, hulu-hilir. Menggerakkan roda ekonomi dan menggalakkan pendidikan bersamaan dan serius.Stimulus ekonomi khas keynesian ato adam Smith silakan pilih, akan berbanding lurus dengan kesadaran pendidikan. Sapa sih yang nggak mau anaknya sarjana kalo dah punya uang?
Bagaimana implementasi detailnya? waduh, saya sudah menggaji pemerintah tuh untuk memikirkannya. Lewat pajak saya yang tidak seberapa tentunya. Kemana aja sie pemerintah saya? dan warga negara yang cuma bisa ngeluh kayak saya.
Mengutip tulisan seorang penulis,menyandarkan harapan pada pemerintah negara kita bisa gawat urusannya.Negara bisa sepi, karena banyak yang putus asa dan bunuh diri.
Saya juga bingung mau mulai darimana, lha wong ngurus diri sendiri saja belum becus. Seengak-enggaknya saya tulis.
Menulis memang menyenangkan, fenomena di Kalimantan nun jauh, bisa dikaitkan sedekat 5 senti saja didepan kita. Lalu tulis. Tidak ada yang bisa mengalahkan alat sedasyat ini. Yang membantu kita untuk memberi tubuh pada imajinasi kita..
Komentar
Posting Komentar